Asal Usul Nama Jembatan Kabanaran dari Pandansimo, Ditelusuri Berdasarkan Nilai Sejarah

Erlita Irmania
0
Asal Usul Nama Jembatan Kabanaran dari Pandansimo, Ditelusuri Berdasarkan Nilai Sejarah

Sejarah di Balik Nama Jembatan Kabanaran

Jembatan Kabanaran, yang kini menjadi ikon baru di Yogyakarta, memiliki latar belakang sejarah yang sangat kuat. Awalnya, jembatan ini dikenal dengan nama Jembatan Pandasimo, namun perubahan nama ini terjadi karena adanya usulan dari Bupati Kulon Progo, Agung Setyawan. Perubahan nama tersebut tidak hanya sekadar perubahan nama, tetapi juga merupakan penghargaan terhadap nilai historis yang dimiliki Desa Kabanaran.

Jembatan Kabanaran berada di perbatasan antara Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, dan Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul. Lokasi jembatan ini terletak di area Sungai Progo, yang menjadi jalur penting dalam sejarah perjuangan masyarakat Yogyakarta.

Pada Rabu (19/11/2025), jembatan yang memiliki ikon gunungan ini diresmikan langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto. Namun, setelah peresmian dilakukan, banyak pihak, termasuk warga Yogyakarta yang belum tahu, kenapa pemerintah memilih nama jembatan Kabanaran.

Asal Usul Pemberian Nama

Perubahan nama Jembatan Pandasimo menjadi Jembatan Kabanaran dilatarbelakangi oleh kajian sejarah yang dilakukan oleh Bupati Kulon Progo, Agung Setyawan. Ia mengusulkan pemberian nama jembatan tersebut dengan nama desa tempat jembatan berada, yaitu Desa Kabanaran.

Desa Kabanaran memiliki nilai historis yang kuat bagi masyarakat Yogyakarta. Desa ini adalah pusat markas perjuangan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I) ketika melawan Belanda. Dengan alasan itu, Agung kemudian menembuskan kajian ini kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Setelah melihat kajian itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyetujui penamaan Jembatan Kabanaran.

Sejarah Perjuangan Sri Sultan Hamengku Buwono I

Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah raja pertama keraton Yogyakarta. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai pahlawan yang melindungi rakyat. Ia memiliki nama Pangeran Mangkubumi dan lahir pada 5 Agustus 1717. Saat lahir, ia diberi nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono. Sultan Hamengku Buwono I adalah putra Sunan Amangkurat IV, melalui garwa selir yang bernama Mas Ayu Tejawati.

Kemampuan yang dimiliki BRM Sujono membuatnya diangkat menjadi Pangeran Lurah. Pengangkatan itu terjadi setelah pamannya yang bernama Mangkubumi meninggal dunia pada 27 November 1730. Setelah beranjak dewasa, BRM Sujono menyandang nama yang sama dengan mendiang pamannya, yakni Pangeran Mangkubumi.

Perjuangan Melawan VOC

Era tahun 1740-an, merupakan masa-masa berat bagi bumi Mataram (Kerajaan Mataram). Saat itu, pemberontakan ada di mana-mana, merajalela, dimulai dengan Geger Pacinan yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu Pangeran Sambernyawa. Akibatnya, keraton harus berpindah dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.

Untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu, Susuhunan Paku Buwono II, mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan pesisir utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di bumi Mataram.

Perjanjian Giyanti

Pada 23 September 1754, Gubernur Jawa Utara, Nicholas Hartingh, bertemu dengan Pangeran Mangkubumi. Pertemuan itu membuahkan hasil berupa kesepakatan yang dikenal sebagai “Palihan Nagari”. Hasil kesepakatan itu disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III. Kata sepakat dari Paku Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian, butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti.

Puncaknya, pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh pihak-pihak terkait. Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta pun dimulai.

Sejarah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Pada hari Kamis Pon, 13 Maret 1755 atau tanggal 29 Jumadilawal 1680 Tahun Jawa (TJ), Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja Pertama Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kebijaksanaan dan kearifan Sri Sultan Hamengku Buwono I tertuang dalam Babad Nitik Ngayogya.

Peninggalan dan Falsafah

Sri Sultan Hamengku Buwono I mencetuskan konsep Watak Satriya seperti: Nyawiji (konsentrasi total), Greget (semangat jiwa), Sengguh (percaya diri), Ora mingguh (penuh tanggung jawab). Konsep-konsep luhur itulah yang menjadi credo atau prinsip bagi Prajurit Keraton, Abdi Dalem, dan juga gerak tari yang disebut Joged Mataram.

Sri Sultan Hamengku Buwono I juga mengajarkan falsafah berikut ini: Golong gilig manunggaling kawula Gusti (hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan antara umat dengan Tuhan) dan Hamemayu Hayuning Bawono (menjaga kelestarian alam).

Wafat

Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat pada 24 Maret 1792 atau tepat pada tanggal 1 Ruwah 1718 TJ. Beliau meninggal dunia pada usia 74 tahun. Sri Sultan Hamengku Buwono I dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY. Selama hidupnya, Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki dua orang permaisuri dan 31 orang anak.

Post a Comment

0Comments

Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih

Post a Comment (0)