Fenomena Badut Jalanan: Hiburan, Ekonomi, dan Ruang Kota

Erlita Irmania
0


BOGOR, Erfa News—
Keberadaan badut jalanan semakin mudah ditemui di berbagai sudut kota, dari persimpangan lampu merah hingga gang-gang perumahan. Fenomena ini bukan hanya soal hiburan singkat di tengah kemacetan, tetapi juga potret tekanan ekonomi yang memaksa sebagian warga turun ke jalan demi menyambung hidup.

Mereka tampil dengan kostum warna-warni—ada yang rapi, ada yang lusuh, bahkan beberapa tanpa riasan sama sekali. Di tengah lalu lintas padat, respons masyarakat terhadap kehadiran para badut ini pun beragam. Sebagian warga menganggap badut jalanan sebagai bagian dari dinamika kota. Sementara itu, ada pula yang melihat kemunculan mereka sebagai gambaran kondisi ekonomi yang makin berat, hingga dianggap sebagai pemandangan yang lumrah.

Asal tidak memaksa

Bagi Juli (25), pengguna jalan yang hampir setiap hari melintas di sejumlah titik lampu merah, kehadiran badut jalanan bukan hal baru. “Biasa aja, enggak ada masalah. Kadang lucu juga kalau lagi macet sebentar di lampu merah, ada yang pakai kostum nyentrik,” ujarnya. Namun, ia mengakui bahwa tidak semua situasi terasa menyenangkan. Ada situasi-situasi tertentu yang membuatnya kurang nyaman.

“Saya sih nyaman-nyaman saja. Tapi kalau terlalu sering atau terlalu agresif minta uang, itu yang bikin risih dan harus ditertibin,” katanya. Menurut Juli, batas antara hiburan dan gangguan sangat tipis. Setiap kali badut terlalu dekat dengan jendela mobil atau mengetuk kaca, rasa tidak nyaman langsung muncul. Perasaannya pun bercampur antara apresiasi dan kewaspadaan.

Di satu sisi, badut kerap menghibur anak-anak. Namun di sisi lain, permintaan uang yang terlalu memaksa justru menimbulkan tekanan. “Kalau anak-anak lihat, kadang senang. Tapi ada juga yang maksa minta uang, itu bikin agak risih. Jadi ya tergantung situasinya,” ujarnya. Ia sesekali memberi uang, tetapi hanya kepada badut yang sopan dan tidak mengganggu.

Selain itu, Juli memandang fenomena ini secara realistis, yaitu banyak badut yang bekerja di jalan karena tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. “Kayaknya karena enggak ada pekerjaan lain. Saya lihat ada yang muda, ada yang udah tua. Jadi ya ini cara mereka nyari penghasilan,” ungkapnya. Menurut dia, pemerintah seharusnya tidak sekadar menertibkan, tetapi juga menyediakan alternatif mata pencaharian yang manusiawi.

“Kalau pemerintah bisa kasih mereka ruang yang aman buat cari nafkah, ya bagus. Tapi kalau sampai dibatasin ketat, ya kasihan juga, serba salah sih,” tuturnya.

Terkadang mengganggu

Erni (41), yang sering beraktivitas dengan anak-anaknya, memiliki pengalaman serupa. Ia menilai kehadiran badut bisa menghibur, tetapi situasi di lapangan membuat persepsi masyarakat berubah-ubah. “Menurut saya biasa saja. Kadang menghibur, kadang ya enggak terlalu diperhatiin. Yang penting mereka nggak ganggu orang lain,” ucapnya. Ia tidak segan memberi receh, tetapi tetap merasa tidak nyaman jika badut berdiri terlalu dekat.

“Kalau mereka main sambil minta uang, ya saya sih nggak masalah. Saya cuma kasih kalau ada receh. Tapi kalau terlalu dekat, agak ganggu juga sih,” ungkapnya. Sebagai ibu, ia sesekali memberi uang karena anak-anak tertarik dengan kostum warna-warni. Namun ia juga memahami bahwa banyak badut bekerja dengan kondisi serba terbatas—dari kostum seadanya hingga panas terik yang harus mereka hadapi.

Sebagai ibu, ia beberapa kali harus berinteraksi karena anak-anak yang terbujuk warna-warni kostum. “Pernah, kalau lagi ada anak-anak sama saya. Anak-anak suka senyum sama badutnya, jadi saya kasih recehan,” katanya. Namun pengalaman-pengalaman itu juga membuatnya memahami kondisi para badut yang setiap hari ia lihat bekerja di bawah terik matahari dan bermodalkan kostum seadanya.

“Mungkin karena susah dapat pekerjaan tetap. Saya lihat sendiri, kadang mereka tua-tua juga tapi nggak punya kerjaan lain,” ujarnya. Baginya, solusi terbaik adalah memastikan kegiatan para badut tidak membahayakan pengguna jalan. “Kalau menurut saya sih nggak usah diusir atau dibatasin. Yang penting mereka nggak ganggu lalu lintas atau bikin ribut,” tuturnya.

Pergeseran makna

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, melihat fenomena badut jalanan sebagai bentuk adaptasi masyarakat terhadap tekanan ekonomi. Ia menjelaskan, fenomena ini tidak hanya terjadi di Bogor, tetapi juga di banyak kota lain. “Pertama, memang ini bukan hanya di Bogor ya, fenomena ini berlaku terjadi di beberapa kota yang lain, bahkan hampir berlaku di banyak kota di Indonesia gitu ya,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa situasi serupa juga ia temui di lingkungan tempat tinggalnya di Depok, yang menurutnya banyak terjadi di sekitar rumahnya, termasuk tepat di depan kediamannya.

Menurut dia, badut sebelumnya erat dengan dunia hiburan, terutama perayaan ulang tahun dan kegiatan keluarga. Namun situasi ekonomi memaksa konsep itu bergeser. “Nah, dalam perjalanannya kemudian ini mengalami pergeseran makna gitu ya. Dari menghibur kemudian bergeser maknanya menjadi alat komersil lah,” tuturnya. Kini, badut jalanan lebih identik dengan upaya mencari penghasilan ketimbang hiburan. Banyak yang tidak lagi menampilkan atraksi atau riasan, sehingga nilai hiburan pun memudar.

“Karena esensi badut yang lucu, menghibur itu sudah hilang. Karena dia tidak menampilkan sisi badut itu sendiri. Jadi hanya sebatas yaudah pakai bajunya,” kata dia.

Pilihan terakhir

Soleh (41), seorang badut jalanan di Kota Bogor, mengaku profesi ini bukan pilihan utama. Ia pernah bekerja sebagai satpam, tetapi ritme kerja malam membuatnya menyerah. “Karena ini, saya tuh nggak kuatnya kerja malamnya ini,” ujarnya. “Dari jam tujuh malam sampai jam tujuh pagi lagi. Kalau kerja malam tuh, dari jam dua malam, patroli keliling-keliling,” sambungnya. Pekerjaan lain sebagai sopir pribadi pun tak bertahan lama akibat tekanan dan bentakan berulang dari majikannya. Padahal, ia sudah dibuatkan SIM C dan SIM A dengan total biaya Rp 1.400.000 yang seluruhnya ditanggung oleh majikannya.

“Karena suruhannya tuh tegas begitu, kadang saya tidur, pintu dikunci. Pernah diledek gini, ‘Soleh, kenapa kamu pintu dikunci kayak banyak uang aja?’” kisahnya. Namun pekerjaan itu juga tak berlangsung lama. Ia hanya bertahan dua bulan. Bentakan-bentakan yang datang bertubi-tubi membuatnya tidak sanggup lagi menjalani pekerjaan itu. Soleh akhirnya mengundurkan diri. Dengan ijazah hanya sampai SD dan tanpa modal usaha, ia akhirnya memilih menjadi badut jalanan.

Sementara itu, Irma (51), ibu dua anak, juga terjun menjadi badut karena keterdesakan ekonomi. Setelah terimbas PHK dan usaha jualan kuenya ambruk saat pandemi, ia tidak punya pilihan lain. “Saya dulu jualan kue keliling. Tapi sejak pandemi itu, sepi banget modal habis. Suami juga kerjanya serabutan. Terus ada teman yang nawarin jadi badut karena katanya lumayan bisa buat makan harian. Ya akhirnya saya coba,” kata Irma. Pendapatannya pun jauh dari stabil, hanya berkisar Rp 20.000 hingga Rp 70.000 per hari.

“Sehari paling dapat Rp 40.000–70.000. Kadang cuma Rp 20.000 ribu kalau sepi. Ya enggak cukup sih tapi mau gimana,” ucapnya. Sebelum itu, ia bekerja di sebuah pabrik garmen hingga pabrik tersebut tutup dan ia terkena PHK. Usia yang tak lagi muda membuatnya sulit diterima di tempat baru. Situasi semakin berat ketika salah satu anaknya jatuh sakit, sementara di dompetnya hanya tersisa uang belasan ribu rupiah.

“Waktu itu saya benar-benar nggak tahu harus apa. Itu yang bikin saya nyerah,” ungkapnya. Dalam kondisi terdesak, Irma akhirnya mengikuti jejak temannya, memilih jalan yang sama dengan Soleh, menjadi badut jalanan.

Post a Comment

0Comments

Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih

Post a Comment (0)