
Asal Usul Istilah "Tanah Negara"
Istilah "tanah negara" berasal dari istilah staat lands domein yang pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa kolonial, istilah ini sering ditulis dengan variasi bahasa. Misalnya dalam Burgerlijk Welboek (BW), Agrarich Besluit Staatblad 1870-118, Koninklijk Besluit (staadblad 1872-117), dan Zelfsbestuurs Regelen staadblad 1875-199a). Dalam BW, terdapat dua pasal yang menyebutkan istilah berbeda: Pasal 519 BW menggunakan istilah “Eigendom of van den lande” (milik dari negara yang bersangkutan) dan Pasal 520 BW menggunakan istilah “Behoren aan de lande” (dikuasai oleh negara).
Pasal 519 BW menjelaskan bahwa tanah-tanah yang tidak milik persekutuan atau perorangan termasuk tanah milik negara. Sementara itu, Pasal 520 BW menggambarkan tanah yang tidak dipelihara atau tidak memiliki pemilik sebagai "Groenderven behoren aan de lande" (tanah di bawah kekuasaan negara). Kata "domein" lebih tepat dimaknai sebagai "di bawah kekuasaan atau kewenangan", bukan sebagai "pemilik".
Makna Istilah "Staat Lands Domein"
Dalam konteks hukum, istilah staat lands domein lebih tepat diartikan sebagai tanah yang berada di bawah kekuasaan atau kewenangan negara. Karena bentuk negara Belanda adalah kerajaan, maka tanah-tanah tersebut menjadi di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda (Nederlands Koninkrijk). Namun, jika diksi "tanah negara" diartikan sebagai tanah milik negara, hal ini bisa menimbulkan tafsir bias karena menganggap negara sebagai subjek hak atas benda.
Negara bukanlah owner atau eigenaar atas tanah. Oleh karena itu, pemaknaan staat lands domein seharusnya tidak ditafsirkan menjadi staat lands eigendom, tetapi Behoren aan de lande (di bawah kekuasaan negara).
Latar Belakang Hukum Agraria
Ketentuan tentang Algemen Domein verklaring dalam Pasal 1 Algemen Besluit tahun 1870 No. 118 menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dilekatkan hak dapat dibuktikan, seperti hak milik (eigendom), secara otomatis menjadi tanah yang pengaturannya di bawah domein Kerajaan Belanda. Ketentuan ini memiliki latar belakang politik, yaitu untuk kepentingan investasi perusahaan Eropa di wilayah jajahan.
Penggunaan istilah "Domein Negara" mencerminkan fungsi, struktur, dan organ badan-badan negara. Hukum yang mengaturnya adalah Hukum Tata Negara terkait tugas dan kewenangan serta hubungan antar lembaga negara. Sedangkan bagaimana badan-badan negara menjalankan tugasnya tunduk pada rezim Hukum Administrasi Negara.
Perkembangan Hukum Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, pengaturan tentang tanah masih melanjutkan konsepsi dan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh pemerintah Hindia Belanda. Contohnya, Burgerlijk Welboek (BW) yang mengatur tentang Hukum Benda, dan semua peraturan yang diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda sampai dengan terbitnya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara mengandung filosofi domein verklaring khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara negara dan tanah. Di dalamnya, tanah negara didefinisikan sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Namun, peraturan ini diterbitkan berdasarkan hukum peninggalan Kolonial Belanda, bukan undang-undang No.5 Tahun 1960.
UUPA No.5 Tahun 1960
UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menghapuskan semua aturan-aturan terkait agraria yang berbau Kolonial. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de l'homme par l'homme) dan menghindari eksploitasi sumber daya agraria.
UU ini juga menegaskan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa merupakan kekayaan nasional yang diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat. Negara dianggap sebagai penguasa tertinggi atas kekayaan tersebut, sesuai Pasal 2 UUPA.
Pengertian Tanah Negara dalam UUPA
Dalam UUPA No.5 Tahun 1960, istilah "tanah negara" tidak dikenal secara eksplisit. Yang ada adalah "tanah yang dikuasai oleh negara". Hal ini sesuai dengan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA, yang menjelaskan bahwa tanah yang dikuasai oleh negara merupakan penjabaran dari hak menguasai negara atas bumi, air, dan ruang angkasa.
Meskipun demikian, dalam banyak produk hukum masih digunakan istilah "tanah negara" dengan makna yang keliru. Sebenarnya, negara tidak pernah menjadi owner atau eigenaar atas tanah. Istilah yang tepat adalah "tanah yang dikuasai oleh negara" seperti diatur dalam Pasal 2 UUPA.
Hubungan Hukum dan Otoritas Pengelolaan
Hubungan hukum antara negara dan tanah bersifat publik, bukan privat. Oleh karena itu, wewenang pengelolaan atas tanah negara "diatribusikan" ke berbagai otoritas. Pasal 2 UU No.5 Tahun 1960 menjelaskan kewenangan negara dalam mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
Kewenangan ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu, kewenangan menguasai oleh negara dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Provinsi dan masyarakat Hukum Adat, asal tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Batasan Tanah Negara dalam Peraturan Pelaksana
Peraturan pelaksana dari UUPA No.5 Tahun 1960, seperti Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2001, memberi batasan tentang pemaknaan Tanah Negara. Menurut PP ini, tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, bukan tanah wakaf, bukan tanah ulayat, dan bukan merupakan aset barang milik negara/barang milik daerah.
Namun, rumusan ini berbeda dengan rumusan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut yang menyatakan bahwa "Tanah Negara atau Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara merupakan seluruh bidang Tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh pihak lain".
Hak Atas Tanah dan Kewenangan Negara
Jika seseorang sudah memiliki hak atas tanah menurut ketentuan UUPA No.5 Tahun 1960, ia tetap tidak memiliki kewenangan untuk mengalihkannya kepada subyek hukum warga negara asing. Berbeda dengan hak kebendaan lain seperti kepemilikan jam tangan "ROLEX", yang boleh dialihkan kepada warga negara asing.
Oleh karena itu, pemaknaan terhadap tanah negara atau tanah yang dikuasai oleh negara harus benar-benar dimaknai berdasarkan "roh filosofis" pembentukan UU No. Tahun 1960.
Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih