Pemanis di Tempat Kerja: Manis di Luar, Pahit di Dalam

Erlita Irmania
0

Pengantar

Dalam dunia sosial, fenomena seperti sugar daddy, sugar baby, dan sugar mommy sering dianggap sebagai hubungan transaksional. Namun, di dunia kerja profesional dan organisasi, ada satu fenomena yang tidak kalah merusak, yaitu sugar coating. Berbeda dengan ketiga istilah tersebut, sugar coating tidak melibatkan transaksi seksual atau finansial secara langsung, tetapi justru melibatkan sesuatu yang lebih berbahaya: kejujuran yang tergadaikan demi kenyamanan sesaat.

Secara harfiah, sugar coating berarti "melapisi dengan gula". Istilah ini menggambarkan kebiasaan membungkus kenyataan, fakta, atau kritik dengan kata-kata yang sangat lembut, bahkan sampai menutupi kebenaran agar terdengar menyenangkan. Seperti obat pahit yang dibungkus dengan lapisan gula agar terasa manis, sugar coating membuat kebenaran yang tidak menyenangkan terdengar lebih bisa diterima—namun justru di situlah bahayanya.

Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya sugar coating di dunia kerja? Dari mana asal usulnya, mengapa terjadi, siapa saja yang bisa menjadi korban, dan bagaimana menyikapi kenyataan ini agar tidak menjadi korban atau bahkan pelaku dari fenomena yang merusak budaya kerja ini. Berikut adalah ulasannya.

Cikal Bakal dan Asal Usul Istilah Sugar Coating

Sejarah dari Dunia Medis (Abad ke-16)

Istilah "sugar coating" pertama kali muncul pada abad ke-16 dalam konteks medis untuk menggambarkan cara dokter memberikan obat yang pahit kepada pasien dengan menambahkan lapisan gula agar rasanya lebih enak dan mudah ditelan. Ini adalah solusi praktis untuk masalah yang nyata: pasien sering kali menolak minum obat karena rasa pahitnya yang tidak tertahankan.

Ide di balik sugar coating ini adalah membuat sesuatu yang tidak enak menjadi lebih enak dengan cara menyajikannya—bukan mengubah substansi obat itu sendiri, tetapi hanya memberi lapisan luar yang manis. Obat tetap pahit di dalamnya, hanya saja pasien tidak langsung merasakannya.

Evolusi ke Komunikasi Sosial dan Organisasi

Seiring waktu, konsep sugar coating mulai merambah ke hal-hal yang lebih luas, tidak hanya soal obat-obatan. Orang-orang mulai menggunakan istilah ini untuk menjelaskan cara mereka berbicara atau memberikan informasi yang lebih manis atau lebih bagus daripada kenyataannya.

Dalam konteks komunikasi modern, terutama di dunia kerja, sugar coating merujuk pada kebiasaan menyampaikan sesuatu dengan cara yang sangat lembut, bahkan sampai menutupi kebenaran agar terdengar menyenangkan. Ini adalah bentuk disonansi kognitif—ketika seseorang berkata hal yang tidak sesuai dengan hatinya demi diterima oleh lingkungan.

Akar Budaya: Warisan Feodalisme

Di Indonesia, fenomena sugar coating juga memiliki akar budaya yang kuat. Dalam kearifan Jawa, ada ungkapan terkenal: "Ngono yo ngono ning ojo ngono" (Begitu ya begitu, tapi jangan begitu). Kalimat ini mengajarkan keseimbangan—boleh bertindak, tapi jangan berlebihan; boleh jujur, tapi tetap menjaga perasaan.

Namun di dunia kerja modern, ajaran ini sering disalahartikan. Alih-alih menjadi pedoman etika, ia berubah menjadi pembenaran untuk "berpura-pura manis"—menahan kejujuran demi keamanan posisi. Di balik senyum ramah dan kata-kata lembut di ruang kerja, sering tersembunyi naluri manusia paling tua: bertahan hidup di tengah hierarki kekuasaan.

Fenomena "mempermanis kenyataan" ini bukan sekadar etika modern, melainkan warisan sosial dari masa feodal yang masih berjejak hingga kini—di mana rakyat harus berbicara manis kepada raja atau bangsawan, bukan karena tulus tetapi karena takut.

Mengapa Sugar Coating Terjadi di Dunia Kerja?

  1. Menghindari Konflik dan Menjaga Keharmonisan Semu
    Salah satu alasan utama orang melakukan sugar coating adalah untuk menghindari konflik. Dengan menyampaikan sesuatu dengan cara yang lebih lembut atau positif, mereka berharap bisa menghindari pertengkaran atau konflik yang tidak perlu. Tidak semua orang mampu menerima kritik secara langsung. Dengan memilih kata yang lembut, pesan bisa tersampaikan tanpa menyinggung perasaan.

Namun, apa yang terlihat seperti "keharmonisan" seringkali hanyalah ilusi. Masalah tidak diselesaikan, hanya ditunda. Kritik tidak disampaikan dengan jelas, sehingga tidak ada perbaikan yang terjadi. Yang ada hanyalah keharmonisan semu di permukaan, sementara di bawahnya banyak masalah yang menumpuk.

  1. Mendapatkan Keuntungan Pribadi dan Naik Jabatan
    Di banyak kantor, lembaga, maupun organisasi, sugar coating sering digunakan sebagai strategi untuk naik jabatan atau mendapatkan keuntungan pribadi. Karyawan yang pandai "melapisi kepentingan pribadi dengan kata-kata manis" akan terlihat sangat baik di mata atasan—bahkan ketika kinerja mereka sebenarnya biasa-biasa saja.

Mereka pandai memuji atasan, pandai "membaca situasi," dan pandai mengatakan apa yang ingin didengar oleh orang yang berkuasa—bukan apa yang sebenarnya perlu didengar. Sekilas, tindakan itu tampak wajar—siapa pun tentu ingin menjaga hubungan harmonis di tempat kerja. Tapi bila terlalu sering dilakukan, budaya kerja bisa berubah: dari jujur dan terbuka menjadi penuh kepura-puraan.

  1. Takut Tidak Disukai atau Dikucilkan (People Pleasing)
    Karena sering melakukan sugar coating, seseorang akhirnya terbiasa menyesuaikan omongan agar orang lain nyaman. Di awal, mungkin terasa seperti bentuk empati. Tetapi lama kelamaan bisa kehilangan suara sendiri. Tanpa sadar, mereka menjadi takut untuk mengemukakan opini yang jujur, padahal mungkin itu dibutuhkan.

Orang yang pengen diterima atau dicintai oleh orang lain bisa saja menggunakan sugar coating untuk menyelamatkan diri mereka agar terlihat lebih baik di mata orang lain. Ini adalah bentuk people pleasing yang pada akhirnya merugikan diri sendiri dan organisasi.

  1. Tidak Mau Bertanggung Jawab
    Kadang-kadang, seseorang bisa menggunakan sugar coating untuk menghindar tanggung jawab atas tindakan atau keputusan yang buruk. Dengan membungkus kesalahan dengan kata-kata yang manis, mereka berharap bisa mengurangi dampak negatif atau bahkan menghindari hukuman.

Misalnya, seorang manajer yang proyeknya gagal tidak mengatakan "Proyek ini gagal karena saya salah mengambil keputusan," tetapi mengatakan "Proyek ini mengalami sedikit kendala karena faktor eksternal yang di luar kontrol kita." Ini adalah bentuk menghindar dari akuntabilitas dengan cara membungkus kegagalan dengan kata-kata yang tidak jelas dan tidak menyalahkan siapa-siapa.

  1. Budaya Organisasi yang Tidak Mendukung Kejujuran
    Dalam beberapa organisasi, budaya yang ada justru tidak mendukung kejujuran terbuka. Karyawan yang terlalu blak-blakan atau kritis sering kali dianggap "tidak sopan," "tidak tahu diri," atau "membuat masalah." Dalam kondisi seperti ini, sugar coating menjadi strategi bertahan hidup—bukan karena ingin manipulatif, tetapi karena sistem memaksa mereka untuk tidak jujur.

Apakah Sugar Coating Hanya Menimpa Gender Tertentu?

Tidak. Sugar coating adalah fenomena komunikasi yang bisa menimpa dan dilakukan oleh semua gender—baik laki-laki maupun perempuan. Ini bukan masalah gender, tetapi masalah dinamika kekuasaan, budaya organisasi, dan karakter individu.

Laki-laki sebagai Pelaku dan Korban

Laki-laki juga bisa menjadi pelaku sugar coating, terutama ketika mereka ingin naik jabatan atau mendapatkan proyek penting. Mereka pandai memuji atasan (baik atasan laki-laki maupun perempuan), pandai mengatakan "ya" untuk semua permintaan, dan pandai membungkus laporan yang buruk dengan kata-kata yang terdengar positif.

Laki-laki juga bisa menjadi korban sugar coating—misalnya, ketika bawahan perempuan atau laki-laki lainnya memberikan laporan yang tidak akurat tetapi dibungkus dengan sangat manis sehingga ia tidak menyadari ada masalah serius yang sedang terjadi.

Perempuan sebagai Pelaku dan Korban

Perempuan, karena secara sosial sering diajarkan untuk lebih "halus" dan "tidak konfrontatif," kadang lebih rentan untuk melakukan sugar coating. Namun ini bukan karena sifat bawaan, tetapi karena ekspektasi sosial dan budaya yang membentuk mereka.

Perempuan juga bisa menjadi korban—terutama dalam lingkungan kerja yang didominasi laki-laki, di mana kritik mereka sering kali di-sugar coat dengan alasan "tidak mau menyinggung perasaan wanita," padahal sebenarnya feedback yang jujur justru yang mereka butuhkan untuk berkembang.

Kesimpulan: Ini Masalah Budaya, Bukan Gender

Sugar coating adalah masalah budaya organisasi dan dinamika kekuasaan, bukan masalah gender. Siapa pun—terlepas dari jenis kelaminnya—bisa menjadi pelaku atau korban dari fenomena ini jika berada dalam sistem yang tidak mendukung kejujuran terbuka.

Post a Comment

0Comments

Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih

Post a Comment (0)