Kembali ke Pangan Lokal, Belajar dari Sejarah Gastronomi Indonesia

Erlita Irmania
0

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan kekayaan kuliner lokal. Setiap daerah memiliki varian makanan unik yang berbeda dari segi rasa maupun penampilan. Misalnya, Mie Aceh di Aceh, Mie Gomak di Sumatera Utara, Mie Celor di Palembang, Mie Bangka di Bangka, Soto Mie di Bogor, Mie Kopyok di Semarang, Mie Kocok di Bandung, Mie Koclok di Cirebon, Mie Ongklok di Banyumas, Mie Jawa di Yogya, Mie Titi di Makassar, dan Mie Cakalang di Manado.

Selain itu, ada juga variasi mie siap saji seperti ayam bawang, kari ayam, soto ayam, mie goreng rendang, mie goreng sambel matah, dan mie Bangladesh. Namun, dengan gencarnya promosi dari para pedagang kuliner, banyak orang mulai meninggalkan cita rasa pangan lokal karena pengaruh globalisasi. Akibatnya, generasi muda lebih mengenal mie ramen, mie ramyun, dan spaghetti.

Tidak hanya itu, banyak orang yang memilih makanan olahan seperti nugget, sarden, atau sosis karena praktis dan mudah disiapkan. Namun, hal ini bisa berdampak negatif pada kesehatan. Lalu, mengapa kita harus kembali ke pangan lokal? Apa alasannya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita melihat sejarah gastronomi Indonesia. Sejarah Gastronomi Indonesia

Gastronomi Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sangat kaya, yang dipengaruhi oleh berbagai budaya dan tradisi. Di era prasejarah, manusia purba Indonesia sudah mengenal cara mengolah makanan, termasuk talas. Era hidrolis kemudian mengembangkan pertanian dan peternakan, sehingga jenis makanan semakin beragam.

Pada masa kerajaan dan kolonial, pengaruh asing mulai masuk dan mempengaruhi kuliner Indonesia, seperti dari China, India, dan Eropa. Pada abad ke-16, pedagang Portugis memperdagangkan tomat, cabai, dan jagung. Abad ke-19, Belanda memperkenalkan kentang, wortel, dan buncis. Salah satu contoh kuliner Solo yang mengadopsi bahan-bahan ini adalah Selat Solo.

Di era awal republik, terjadi percampuran antara kuliner asing dan lokal. Namun, saat Orde Baru yang bersifat Jawa-sentris, beras menjadi populer hingga menggantikan pangan lokal seperti sagu di Indonesia Timur. Era globalisasi menyebabkan makanan siap saji menjadi populer, diikuti oleh era teknologi pangan. Namun, muncul juga fase regeneratif yang mempopulerkan kuliner kukusan sebagai alternatif gorengan.

Sesi Bincang Pangan

Setelah tarian Budaya Nusantara, talk show dimulai dengan mengundang tiga narasumber dan moderator. Narasumber pertama dalam Talk Show "Melacak Jejak Pangan Nasional" yang diselenggarakan oleh Erfa News bekerja sama dengan Kompas TV, Repa Kustipia pada Kamis, 18 Desember 2025 bertempat di studio 2 Kompas TV - Menara Kompas, Jakarta Pusat, telah menjelaskan sejarah gastronomi Indonesia secara jelas.

Kuliner umumnya dipengaruhi oleh kebiasaan. Jika kita terbiasa makan pagi dengan roti atau mie cepat saji yang berbahan dasar gandum, yang masih diimpor, maka sulit untuk beralih ke pangan lokal yang melimpah di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh narasumber kedua, Dwinita Wikan, yang menunjukkan bahwa beberapa pangan lokal seperti talas, singkong, ubi jalar, jagung, dan sorgum memiliki gizi yang baik. Selain itu, buah-buahan lokal seperti pisang, sukun, dan pepaya juga kaya akan nutrisi.

Pangan Lokal, Kekayaan Budaya dan Gizi

Pangan lokal Indonesia sangat beragam dan kaya akan gizi. Contohnya nasi goreng, gado-gado, nasi pecel, soto, bakso, hingga sate. Tiap daerah memiliki varian kuliner khas, seperti soto Medan, soto Padang, soto Banjar, soto Semarang, soto Kudus, coto Makassar, dan lainnya. Sate juga sangat beragam, seperti sate Padang, sate Madura, sate Lilit, sate Maranggi, sate Klopo, sate Kere, dan sate Klathak.

Selain menggugah selera, pangan lokal juga lebih sehat karena terbuat dari bahan alami dan segar. Namun, modernisasi membuat banyak pangan lokal ditinggalkan. Makanan olahan dan cepat saji sering dipilih karena praktis, akibatnya banyak orang mengalami obesitas dan penyakit kronis seperti kanker, diabetes, jantung, serta hipertensi.

Sisi Negatif Modernisasi

Meninggalkan pangan lokal dapat berdampak negatif pada kesehatan dan ekonomi. Kesehatan karena makanan olahan sering kali mengandung bahan kimia, gula, dan garam berlebihan. Dampak ekonominya, kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan sulit tercapai. Keuntungan mengalir ke perusahaan besar bahkan importir. Contohnya, tahu dan tempe yang merupakan makanan sejuta umat masih bergantung pada kedelai impor, sehingga bisa disebut sebagai kuliner mewah.

Cara Kembali ke Pangan Lokal

Setelah memahami sejarah gastronomi dan dampak negatif modernisasi, kita diingatkan untuk kembali ke pangan lokal. Bagaimana caranya?

  • Belanja di pasar tradisional, temukan bahan makanan yang alami dan segar.
  • Mengolah masakan sendiri, gunakan bahan-bahan segar, bukan bahan olahan. Contoh sarapan roti, ganti dengan aneka kukusan: jagung, pisang, waluh, ubi jalar, ubi kayu, dan telur.
  • Dukung petani/peternak/nelayan lokal, belilah hasil produk mereka, jangan produk olahan meski lebih praktis.
  • Coba resep kuliner lokal, eksplor aneka kuliner nusantara dari Sumatera hingga Papua.
  • Bagikan pengalaman melalui media sosial sebagai pembuat konten untuk mempromosikan pangan lokal.

Seperti film pendek yang diputar sebelum talk show dimulai. Sepiring nasi bisa memiliki cerita berbeda antara anak di pulau Jawa, Sulawesi, dan Sumba. Namun, mereka sama-sama menjadi anak Indonesia yang kuat dan tangguh, sehingga bisa rajin belajar.

Talk show diakhiri dengan narasumber ketiga, Dadan, yang mempromosikan serangga sebagai protein pengganti daging hewani (ayam atau ikan). Cara mengolahnya mudah, dan serangga bersih karena hanya mengkonsumsi tumbuhan. Contoh serangga yang dikonsumsi di Gunung Kidul (laron, jangkrik, belalang) dan Blora (ulat daun jati), karena kandungan protein serangga 6x dari daging sapi.

Talk show dengan moderator COO Erfa Newsmas Heru atau mas Embong yang memimpin jalannya talk show dengan lugas, ditutup dengan standup o. Kembali ke pangan lokal bukan hanya tentang cita rasa, tetapi juga untuk melestarikan tradisi dan budaya. Yuk kembali ke pangan lokal dengan karbohidrat (jagung, ubi jalar, ubi kayu, waluh, talas, pisang), protein (ayam, ikan atau serangga), dan serat (sayur-sayuran) serta buah-buahan lokal (pisang, nanas, sukun, pepaya).

Post a Comment

0Comments

Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih

Post a Comment (0)