RS Panti Waluya Sawahan Malang, warisan kolonial yang menjaga kemanusiaan

Erlita Irmania
0

Malang dan Warisan Kota yang Dibangun dengan Perencanaan

Tidak selalu nyaman mengakui bahwa sejarah kolonial meninggalkan warisan yang tidak sepenuhnya buruk. Namun justru pada ketidaknyamanan itulah kedewasaan berpikir kita diuji. Sejarah tidak menuntut kita untuk memuja, tetapi juga tidak meminta kita menutup mata.

Kota Malang menyimpan kerumitan itu dengan tenang. Di balik ingatan tentang masa penjajahan, kota ini mewarisi tata ruang yang tertata, jalan-jalan yang teduh, kawasan hunian yang relatif manusiawi, sekolah-sekolah lama yang masih berfungsi dan berjalan dengan baik, serta fasilitas publik yang dibangun dengan visi jangka panjang. Semuanya bukan hadir secara kebetulan, melainkan buah dari perencanaan yang serius sesuatu yang hari ini justru sering kita rindukan.

Rumah Sakit sebagai Wajah Peradaban

Di antara berbagai warisan tersebut, rumah sakit menempati posisi yang istimewa. Rumah sakit bukan hanya tempat mengobati penyakit, namun juga cermin peradaban: bagaimana sebuah masyarakat memandang penderitaan, harapan, dan martabat manusia. Sebuah kota yang memberi perhatian serius pada pelayanan kesehatan sejatinya sedang membangun masa depannya sendiri.

Berkunjung ke RS Panti Waluya Sawahan Malang

Kesadaran itu kembali saya rasakan ketika berkunjung ke RS Panti Waluya Sawahan Malang, salah satu rumah sakit tua yang lebih dikenal dengan sebutan RKZ. Tepat dua tahun silam, saya pernah mengulas tentang rumah sakit tertua di kota Malang, yakni Rumah Sakit Lavalette (1918). Seolah saya menyusuri jejak masa lalu saat menjenguk seorang suster dan seorang teman yang sedang dirawat di rumah sakit yang megah ini.

Sejak melangkahkan kaki memasuki area rumah sakit, suasana yang berbeda langsung terasa. Bangunan tua ini berdiri dengan wibawa dan terasa tenang, tak berlebihan, tidak pula rapuh. Gedung rumah sakit yang berlokasi di jalan Nusakambangan 56 Malang ini seolah telah berdamai dengan usianya, tetap setia menjalankan fungsi utamanya untuk melayani siapa saja yang membutuhkan perawatan medis.

Lorong-Lorong Tua dan Ingatan yang Hidup

Saya menyusuri lorong-lorong panjang rumah sakit itu dengan langkah pelan. Langit-langit yang tinggi, jendela-jendela besar, serta cahaya alami yang masuk dengan lembut menciptakan keheningan yang menenangkan. Suara langkah kaki menggema pelan, seakan mengingatkan setiap orang yang melintas untuk berjalan lebih perlahan. Dan di lorong-lorong itu, imajinasi saya melayang ke masa lalu. Saya membayangkan para suster Belanda berjalan di jalur yang sama hampir seabad silam, mengabdikan diri pada pelayanan kesehatan di tanah yang jauh dari kampung halaman mereka. Saya juga membayangkan para pasien yang pernah dirawat di sana, menggantungkan harapan akan kesembuhan di tengah keterbatasan zaman.

Lorong-lorong ini bukan sekadar penghubung ruang, melainkan ruang ingatan yang menyimpan jejak kemanusiaan.

Jejak Sejarah RS Panti Waluya Sawahan

RS Panti Waluya Sawahan Malang berdiri sejak tahun 1929 sebagai Rumah Sakit Katolik atau "Room Katholiek Ziekenhuis" (RKZ). Rumah sakit ini lahir dari gagasan Mgr. Van der Pas, O. Carm, yang ingin mengembangkan misi pelayanan kesehatan di Keuskupan Malang. Para suster Misericordia dari Belanda diundang untuk mewujudkan gagasan tersebut. Dua suster pertama yang datang adalah Moeder Gerarda Mayella dan Moeder Marie Agustina pada 4 Agustus 1929. Kemudian disusul empat suster: Sr. Clara Maria, Sr. Marie Josephine, Sr. Martha Maria, dan Sr. Chaterine de Sianne pada 2 November 1929.

Bermula dari sebuah klinik bagus dan lengkap milik seorang Dokter baik hati: Prof. Dr. Alfred Theodor Leber (1881-1954) yang diberikan untuk dikelola Zuster van de Christelijke dari Barmhartigheid, dan diberkati oleh Mgr. Van der Pas. Klinik ini dibangun menjadi rumah sakit kecil dengan fasilitas 25 tempat tidur, rumah sakit ini berkembang secara bertahap: paviliun dibangun, layanan bersalin dibuka, tenaga medis bertambah, dan sistem pelayanan ditata dengan lebih profesional. Nama rumah sakit kecil ini menjadi Room Katholiek Ziekenhuis (RKZ) St. Maria Magdalena Postel. Hingga pada 7 Juli 1930 datang dua suster: Sr. Anastasia dan Sr. Laurentia yang mengembangkan tempat layanan kesehatan ini dengan membangun Joseph Paviliun dengan kapasitas 12 tempat tidur, dan 2 ruangan untuk bersalin.

Tonggak penting terjadi pada tahun 1956, tepatnya pada 26 Februari, ketika rumah sakit ini resmi berganti nama menjadi Rumah Sakit Panti Waluya Sawahan Malang dan ditetapkan sebagai rumah sakit umum yang memenuhi standar modern berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No. YM.02.043.5.679.

Pelayanan Kesehatan, Iman, dan Profesionalisme

Sejak awal berdirinya, rumah sakit ini dibangun di atas fondasi iman yang diwujudkan melalui kerja nyata. Pelayanan kesehatan tidak berhenti pada niat baik, tetapi dijalankan dengan disiplin, keteraturan, dan tanggung jawab. Hingga hari ini, RS Panti Waluya Sawahan Malang tetap melayani masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama maupun sosial. Nilai inilah yang membuatnya tetap relevan di tengah masyarakat yang majemuk.

Paradoks Sejarah: Dijajah, tetapi Mewarisi yang Baik

Mengakui warisan baik dari masa kolonial bukan berarti menafikan luka penjajahan. Bangsa ini tetap memiliki ingatan sejarah yang pahit. Namun kedewasaan terletak pada kemampuan untuk memilah: mengingat luka tanpa menolak pelajaran. RS Panti Waluya Sawahan Malang menjadi contoh bagaimana sesuatu yang lahir di masa kolonial dapat terus memberi manfaat hingga hari ini, bukan karena konteks penjajahannya, melainkan karena nilai kemanusiaan yang ditanamkan.

Rumah Sakit Tua yang Tetap Relevan

Hampir satu abad berlalu, rumah sakit ini tidak berubah menjadi bangunan usang atau sekadar monumen sejarah. Ia tetap hidup dan beradaptasi. Bangunan tua ini berpadu dengan kebutuhan pelayanan medis masa kini, tanpa kehilangan ruh kemanusiaannya. Di sanalah makna sebuah warisan diuji, bukan pada usianya, melainkan pada kemampuannya untuk terus melayani.

Merawat Ingatan dan Kemanusiaan

Saat meninggalkan RS Panti Waluya Sawahan Malang, saya membawa pulang refleksi tentang sejarah, tentang kota, dan tentang pentingnya merawat ingatan secara jujur dan berimbang. Lorong-lorong rumah sakit tua ini mengajarkan satu hal penting bahwa kemanusiaan yang dirawat dengan sungguh akan bertahan lebih lama daripada kekuasaan apa pun. Dan mungkin, di situlah makna sejati dari sebuah peradaban.

Post a Comment

0Comments

Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih

Post a Comment (0)