Saat Stetoskop Bertemu Algoritma: Mengapa Dokter Perlu Pahami IT Tahun 2025

Erlita Irmania
0


Oleh: dr. Dika Rizkiardi, MMR Dosen Universitas Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta

Perubahan dalam Dunia Kesehatan di Tahun 2025

Pernahkah Anda membayangkan suasana ruang praktik dokter di tahun 2025? Kemungkinan besar pemandangannya akan sedikit berbeda dari satu dekade lalu. Dokter tidak lagi hanya duduk di balik meja dengan stetoskop menggantung di leher dan tumpukan rekam medis kertas yang menggunung. Sebaliknya, di hadapan mereka terpampang layar dashboard yang menyajikan grafik tren vital pasien secara real-time, notifikasi risiko dari kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), hingga data genetika yang terintegrasi.

Di era ini, stetoskop masih ada namun ia tidak lagi bekerja sendirian. Ia kini memiliki mitra baru bernama algoritma. Sebagai seorang akademisi dan praktisi di bidang kesehatan, saya melihat transformasi ini bukan lagi sekadar wacana futuristik. Mengacu pada Cetak Biru Strategi Transformasi Digital Kesehatan 2024 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI, digitalisasi telah ditetapkan sebagai pilar utama untuk efisiensi dan perluasan akses layanan kesehatan nasional.

Namun, di tengah gemuruh teknologi canggih seperti AI Triage, Telemedicine, dan Robotic Surgery, ada satu elemen krusial yang sering terlupakan yaitu kesiapan sumber daya manusianya. Pertanyaan besarnya adalah ketika rumah sakit berubah menjadi perusahaan berbasis data, apakah dokter dan tenaga kesehatan kita sudah siap berbicara dalam bahasa yang sama dengan mesin-mesin canggih tersebut?

Redefinisi Literasi: Bukan Sekadar Bisa Menggunakan Komputer

Sering terjadi salah kaprah dalam mengartikan literasi digital (digital literacy) bagi tenaga kesehatan. Banyak yang mengira ini berarti dokter harus bisa menulis kode pemrograman (coding) atau menjadi ahli teknis yang memperbaiki server rumah sakit. Tentu saja bukan itu tujuannya.

Literasi digital dalam konteks Hospital Digitalization 2025 adalah kemampuan klinisi untuk memahami logika di balik data. Tantangan terbesar yang dihadapi institusi kesehatan saat ini seringkali bukan pada ketiadaan anggaran, melainkan pada aspek budaya kerja. Dari perspektif Manajemen Rumah Sakit (MMR), kita harus mewaspadai fenomena yang disebut "Death by 1000 Clicks". Sebuah studi dalam Mayo Clinic Proceedings pernah menyoroti bahwa penggunaan Rekam Medis Elektronik (RME) yang didesain buruk justru meningkatkan angka kelelahan kerja (burnout) pada dokter. Dokter menghabiskan lebih banyak waktu bertarung dengan antarmuka komputer daripada menatap mata pasien. Di sinilah bahasa IT menjadi penting karena dokter harus mampu memberikan masukan teknis agar sistem yang dibangun benar-benar ergonomis secara klinis, bukan hanya canggih secara fitur.

Validasi Klinis: Belajar dari Kasus Parasitologi

Mengapa pemahaman teknis ini vital? Mari kita ambil contoh spesifik dari bidang yang saya geluti sehari-hari, yaitu parasitologi. Saat ini, teknologi Deep Learning mulai dikembangkan secara masif untuk mendeteksi Plasmodium penyebab malaria. Studi terbaru yang dipublikasikan oleh Nagendra et al. dalam Journal of Clinical Microbiology (2025) memberikan bukti nyata betapa pentingnya kolaborasi ini. Dalam penelitian tersebut, teknologi AI berbasis hydrogel stamping dibandingkan dengan mikroskopis manual standar di laboratorium rujukan.

Hasilnya mengejutkan: AI berhasil mendeteksi dua kasus positif malaria dengan kepadatan parasit sangat rendah (<0,1%) yang awalnya terlewat dan dinyatakan negatif oleh pemeriksaan manusia. Mengapa manusia bisa terlewat? Karena keterbatasan fisik mata dari manusia. AI mampu memindai hingga 200.000 sel darah merah secara konsisten, sementara manusia biasanya hanya menghitung sampel sekitar 1.000 sel. Namun, apakah ini berarti dokter tidak lagi dibutuhkan? Justru sebaliknya. Dalam studi tersebut, temuan AI ini tetap memerlukan verifikasi ulang oleh patolog untuk konfirmasi diagnosis akhir. Ini membuktikan tesis perpaduan antara Manusia + Mesin. AI bertugas sebagai penapis (screener) agresif yang tidak kenal lelah sementara dokter bertugas sebagai validator ahli. Tanpa dokter yang memahami cara kerja AI, temuan-temuan "samar" seperti ini mungkin akan diabaikan.

Perspektif Pendidik: Menyiapkan Generasi Masa Depan

Sebagai dosen, saya sering berdiskusi dengan mahasiswa mengenai kesiapan mereka. Kurikulum pendidikan kesehatan tradisional umumnya sangat fokus pada hafalan anatomi, fisiologi, dan farmakologi. Namun, realita di lapangan kini menuntut lebih. Studi mengenai digital health literacy pada mahasiswa kedokteran menunjukkan adanya kesenjangan yang menarik. Generasi Z memang mahir menggunakan media sosial, namun belum tentu mahir menggunakan teknologi klinis. Mereka perlu diajarkan bahwa setiap data yang mereka input ke dalam sistem RME adalah bahan bakar bagi analitik rumah sakit.

Jika input data dilakukan sembarangan atau dalam istilah teknis disebut Garbage In, Garbage Out maka algoritma secanggih apapun tidak akan berguna untuk prediksi keselamatan pasien (patient safety). Di sinilah peran institusi pendidikan menjadi vital untuk mengubah pola pikir mahasiswa dari sekadar pengisi formulir menjadi kurator data klinis.

Dokter sebagai Penerjemah Multidisiplin

Tema besar digitalisasi rumah sakit di tahun 2025 menuntut pendekatan multidisiplin yang radikal. Rumah sakit masa depan tidak lagi hanya diisi oleh dokter, perawat, dan apoteker. Kini, profesi seperti Data Scientist, IT Engineer, hingga ahli Cybersecurity menjadi bagian vital dari tim penyelamat nyawa. Di sinilah peran strategis dokter muncul sebagai jembatan atau penerjemah. Tim IT mungkin ahli dalam mengolah angka dan statistik, namun mereka tidak memahami konteks klinis apakah detak jantung yang naik itu karena pasien habis berlari ke kamar mandi atau karena gejala awal serangan jantung? Sebaliknya, dokter paham klinis tapi mungkin gagap membaca pola data mentah.

Kolaborasi ini sangat krusial, terutama dalam isu AI Governance dan keamanan data. Dokter harus aktif terlibat memberi masukan kepada tim pengembang sistem agar aplikasi yang dibuat mematuhi etika medis dan menjaga kerahasiaan data pasien sesuai regulasi yang berlaku.

Masa Depan yang Humanis

Pada akhirnya, digitalisasi hanyalah sebuah alat dengan tujuan utamanya tetaplah pasien. Di tahun 2025, dokter yang menguasai bahasa IT bukanlah dokter yang menghabiskan waktunya menatap layar komputer melainkan dokter yang bisa memanfaatkan efisiensi teknologi untuk memiliki lebih banyak waktu bertatap muka dengan pasiennya. Teknologi mengambil alih tugas repetitif, menghitung probabilitas, dan menyajikan data. Dokter mengambil alih empati, etika, dan keputusan akhir yang bijaksana. Pernikahan antara stetoskop dan algoritma ini adalah kunci menuju layanan kesehatan yang lebih presisi, aman, dan manusiawi.

Jadi, bagi rekan-rekan sejawat dan tenaga kesehatan di seluruh Indonesia, jangan takut pada gelombang digitalisasi. Jangan melihat algoritma sebagai saingan. Jadikan ia sebagai asisten terbaik Anda. Karena di masa depan, dokter yang menolak teknologi bukan akan digantikan oleh AI, melainkan akan digantikan oleh dokter yang mampu menggunakan AI.

Post a Comment

0Comments

Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih

Post a Comment (0)