Silalahi yang Menawan

Erlita Irmania
0

Perjalanan Menyusuri Tepian Danau Toba

Ketika meninggalkan Sidikalang, Jumat pagi lalu, mobil saya dikawal pikap yang berisi durian Dairi. Kami pun menyusun jadwal perjalanan berikutnya, terutama di mana saja bisa berhenti mencicil menghabiskan durian dari pikap itu.

Pemberhentian pertama adalah kampung Silalahi, yang terletak di tepi Danau Toba –nun di ujung barat danau sepanjang 110 km itu. Perjalanan ke Silalahi mirip dengan perjalanan kami sehari sebelumnya, yaitu ketika kami ke patung Yesus di Sibea-bea. Untuk mencapai Silalahi, kami harus menuruni gunung yang berliku-liku. Dari ketinggian 1.600 meter turun ke 1.100 meter. Jalannya meliuk-liuk.

Mendekati tepian danau, datarannya agak landai. Mulailah terlihat bercuil-cuil tegal dan sawah. Lalu rumah-rumah kecil penduduk asli. Inilah tepian Danau Toba sisi termiskin. Masuk Kabupaten Dairi. Petak sawahnya kecil-kecil. Secuil-secuil. Di sela-sela batu besar. Pun petak kebunnya. Penuh batu agak besar dan agak kecil.

Tanaman terlihat kurang subur. Mangga pun buahnya kecil-kecil –seperti tidak cukup hara untuk membuatnya sedikit lebih besar. Itulah Desa Silalahi: dipercaya sebagai muasal marga Silalahi. Terjepit antara danau di depannya dan gunung terjal di belakangnya.

Kami berhenti di tepian danau. Di gasebo-gasebo sederhana milik sebuah restoran keluarga Mayjen Polisi Purn Sihaloho. Kami permisi makan durian di situ. Tentu kami tahu diri: harus memesan ikan bakarnya dan sambal khas Bataknya. Kami sarapan sambil menunggu datangnya waktu salat Jumat.

Ikannya segar: dari keramba nila di tepian Danau Toba. Terlihat begitu banyak keramba mengapung di situ. Pemilik resto punya teknik sendiri untuk membuat ikan keramba itu gurih. Dia bisa menghilangkan bau lumpur di ikan bakarnya. Caranya: tiga hari sebelum dibakar, ikan itu disuruh puasa dulu. Cara berpuasanya: setelah diambil dari keramba ikan dimasukkan kolam air tawar. Tidak diberi makan apa pun selama tiga hari.

Dengan demikian nila tersebut menjalani detox selama tiga hari. Harapannya: sisa-sisa makanan keramba (pelet) terkuras habis dari perut dan ususnya. Maka kalau semula kami memesan ikan bakar sebagai pematut untuk nebeng makan durian jadilah kebablasan. Ikan bakar itu ludes. Beserta sambal dan nasinya.

Akibatnya durian di pikap masih tersisa banyak. Harus menyusun jadwal baru di mana akan menghabiskannya. Perjalanan masih panjang. Masih banyak kesempatan untuk membuat jalan kenangan.

Kondisi Desa Silalahi

Desa Silalahi sungguh berbatu. Tidak mungkin menjadi sumber kemakmuran –pun di masa depan. Maka keramba ikan itu masih merupakan sumber penghasilan penting. Memang keramba bisa mengancam kelangsungan alami Danau Toba. Tapi sebelum ditemukan cara menghapus kemiskinan di pinggirnya rasanya sulit melarangnya.

Memang ada sumber penghasilan lain: menenun ulos Silalahi. Saya mampir ke tempat penenunan binaan Pemkab Dairi. Menantu Pak Iskan sangat menikmatinya –lalu menambah koleksi tenun dan ulosnyi. Tapi tenun tetap sulit mendapat tempat di tengah murahnya produk tekstil modern. Itu hanya bisa dipakai alat bertahan. Tidak bisa dipakai sebagai jalan menuju kemakmuran.

Kalau pun mereka masih tertolong oleh ulos itu karena pegawai Pemkab Dairi wajib seragam ulos Silalahi seminggu sekali. Kampung Silalahi benar-benar terjepit antara danau dan gunung tebal di belakangnya.

Upaya Pemerintah Daerah

Pemkab Dairi sudah mencoba mencari jalan keluar: menembus isolasi Silalahi dengan cara membangun jalan tembus menuju kabupaten tetangga di kanannya: Kabupaten Samosir. Anda sudah tahu: Kabupaten Samosir tidak hanya pulau Samosir yang di tengah Danau Toba itu. Kabupaten Samosir juga mencakup wilayah di seberang pulau. Sibea-bea, lokasi patung Yesus tertinggi di dunia, tidak terletak di pulau Samosir, meskipun termasuk Kabupaten Samosir.

Maka Sibea-bea mestinya bisa ditembus dari Silalahi. Sama-sama di pinggir danau. Lokasinya bersebelahan. Sebenarnya Silalahi dan Sibea-bea itu ibarat ”masih jauh di hati tapi dekat di mata”. Hanya perlu jalan tembus di pinggir danau. Jalan itu sudah dibuat oleh Pemkab Dairi. Sudah sampai di perbatasan Kabupaten Samosir. Tapi pihak Samosir belum membuat jalan tembus untuk menyambut sambungannya itu. Ibarat orang salaman, Dairi sudah mengulurkan tangannya. Hanya belum bersambut.

Tentu suka-suka bupati Samosir untuk menyambutnya atau tidak. Tidak banyak keuntungan didapat Samosir. Tapi bernegara tidak hanya soal untung dan rugi. Gubernur Sumut perlu turun tangan. Gubernur bisa mengoordinasikannya –sambil memberi sedikit dana pembangunannya.

Kalau jalan tembus itu tersambung, Silalahi bisa punya akses lebih baik ke Sibea-bea. Lalu bisa ke bandara Silangit lebih dekat. Kalau tidak, maka akses keluar Silalahi hanya dua: ke Sidikalang dan ke Simalungun. Ke Sidikalang tidak akan dapat banyak manfaat. Ke Simalungun jauhnya bukan main. Harus menyusuri hampir separo tepian Danau Toba.

Pengalaman di Silalahi

Saya menyusuri jalan berliku itu; melingkar-lingkar. Menuju Simalungun. Kadang Toba terlihat di sisi kanan. Indah dan damai. Kadang berubah, Toba terlihat di sisi kiri. Indah dan damai. Kadang Toba seperti persis di pinggir jalan. Indah dan damai. Kadang Toba terlihat seperti nun jauh di bawah sana. Indah dan teduh.

Sebelum ke Simalungun –dan sebelum salat Jumat di Silalahi– kami ke monumen leluhur mereka. Kami melewati pusat kampungnya: padat, miskin, dan tidak terawat. Masih terlihat rumah-rumah kuno yang asli Silalahi. Tapi sudah berimpitan dengan bangunan-bangunan semi permanen yang ditempel-tempelkan ke rumah adat itu.

Monumen Silalahi itu sendiri seperti tugu Monas di Jakarta. Lebih kecil. Lebih pendek. Lebih sederhana. Di puncaknya bukan emas 36 kg, tapi sesuatu yang asing di imajinasi saya. “Itu melambangkan apa?” telunjuk saya menuding ke puncak monumen dan wajah saya menoleh ke Pak Camat di sebelah saya.

“Itu perlambang bunga pisang,” jawabnya. Oh…jantung pisang. ”Ontong” dalam bahasa Jawa. Maknanya: pisang itu terus beranak-pinak sampai turun-temurun. Begitu pula marga Silalahi.

Tapi Anda sudah tahu: ada dua pendapat soal siapa yang berhak menggunakan marga Silalahi. Di satu pihak hanya keturunan Silalahi Raja yang bisa bermarga Silalahi. Silalahi Raja adalah anak pertama sang pemula. Di pihak lain seluruh keturunan Silalahi Sabungan, sang pemula, boleh menggunakannya.

Tapi mereka rukun. Sama-sama menghormati leluhur mereka: Silalahi Sabungan. Di bagian bawah monumen digambarkan –lewat relief– perjalanan leluhur marga Silalahi di situ. Termasuk riwayat bagaimana sang Raja memilih istri. Digambarkan: ada tujuh wanita muda dengan baju disingkap, seperti sedang menawarkan diri untuk bisa dikawini sang raja. Tapi sang raja justru memilih wanita yang tidak memamerkan kemolekan tubuh.

Tiap tahun, ada perjamuan besar di pelataran monumen itu. Penyelenggaranya delapan marga turunan Silalahi. Secara bergantian. Saya lupa yang mana saja delapan dari keseluruhan turunan Silalahi itu.

Meski desa miskin, saya pastikan Silalahi lebih terasa mewah dari rumah Anda. Seluruh rumah di Silalahi punya AC. Bahkan kandang hewan mereka. Kebun dan sawah mereka. Itu AC dari langit. Udara di Silalahi sangat sejuk –seperti di hampir keseluruhan tanah Batak. Cocok untuk makan durian.

Post a Comment

0Comments

Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih

Post a Comment (0)