
Apakah linimasa TikTok teman-teman sedang dipenuhi dengan dua sosok rupawan ini? Yang satu, cowok dengan penampilan ala oppa Korea yang menjaga booth Tavi di JxB, sebuah pameran kecantikan besar di Jakarta. Mirip "Daehoon", katanya. Satu lagi, mbak-mbak cantik yang jualan skincare eceran dengan berkeliling naik gerobak es krim daaannn, memakai jaket musim dingin. Gebrakan bisnis Gen Z, katanya.
Awalnya, saya kira itu unggahan UGC (User Generated Content) organik. Ternyata, saya sudah terperangkap dalam strategi digital marketing dua brand kecantikan ini. Dunia pemasaran digital di Indonesia sedang tidak baik-baik saja, dalam artian yang positif. Sebagai praktisi di bidang copywriting dan media sosial sejak 2013, saya telah melihat ribuan kampanye silih berganti. Namun, dua fenomena di atas memaksa kita untuk berhenti scrolling dan berpikir: "Kok kepikiran ya?" Tavi dan Wardah, keduanya bergerak di industri kecantikan, namun mereka memilih jalan ninja yang sangat bertolak belakang untuk mencuri perhatian netizen meski konsepnya sama: disruptive marketing.
Apa Itu Disruptive Marketing?
Disruptive Marketing adalah strategi pemasaran yang berani "mendobrak" aturan main yang sudah ada. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian dengan cara yang tidak biasa, menantang status quo, dan seringkali mengubah cara pandang konsumen terhadap sebuah industri.
Tavi dan Strategi "The Power of Visual"
Awalnya, banyak netizen yang terkecoh. Di berbagai video yang viral, terlihat seorang pria dengan penampilan menyerupai oppa-oppa Korea sedang melayani pengunjung di booth Tavi sebagai SPB (Sales Promotion Boy). Netizen bilang dia mirip Daehoon, influencer besar asal Korea Selatan di Indonesia yang juga sempat ramai beberapa waktu lalu karena skandal pernikahannya. Ternyata, sosok tersebut adalah Denzel Noah, seorang influencer biasa yang memang memiliki k-vibe yang sangat kuat. Di salah satu UGC, seorang warganet melontarkan komentar, "Gurl, who that? That's a rare & delicious find!" yang mendapat banyak reaksi dari warganet lainnya.
Apa yang dilakukan Tavi adalah sebuah langkah Casting Strategy yang brilian. Di dunia marketing, kita mengenal istilah Halo Effect. Tavi tidak hanya menjual serum atau pelembap, mereka menjual sebuah "estetika". Dengan menempatkan sosok "Oppa" di lapangan, mereka berhasil menciptakan User-Generated Content (UGC) secara organik.
Ribuan pengunjung secara sukarela merekam, mengunggah, dan memberi tag pada akun Tavi. Hasilnya? Brand awareness melonjak tajam tanpa Tavi harus selalu bergantung pada rate card mega-influencer yang selangit. Mereka memanfaatkan tren K-Wave secara cerdas: bukan melalui layar televisi, tapi melalui interaksi fisik yang terasa eksklusif sekaligus TikTok-able. Tavi juga mendobrak stereotip bahwa influencer kecantikan tak harus perempuan, meski produk yang dijual dikhususkan untuk perempuan.
Wardah dan Strategi "Grassroot Disruption"
Bergeser ke sisi lain, kita melihat Wardah, sang raksasa yang sudah mapan, melakukan hal yang sama sekali tak terduga. Alih-alih mempercantik booth di mal mewah, mereka justru turun ke jalan menggunakan gerobak es krim keliling. Lengkap dengan payung dan desain khas gerobak legendaris, mereka menjual produk skincare dalam kemasan kecil atau eceran. Strategi ini adalah bentuk Market Penetration yang sangat agresif namun terasa hangat. Mengapa? Karena mereka meminjam memori kolektif masyarakat Indonesia.
Gerobak keliling adalah simbol keakraban. Dengan menaruh produk kecantikan di gerobak es krim, Wardah berhasil mendobrak tembok "skincare itu mahal" atau "skincare itu hanya ada di mall". Ini adalah strategi yang sangat humble namun mematikan secara kompetisi. Mereka melakukan jemput bola langsung ke kawasan sekolah, menyasar target pasar yang mungkin selama ini enggan masuk ke toko kosmetik formal karena harga yang mahal.
Sama seperti Tavi, Wardah juga meng-hire seorang influencer, kali ini perempuan. Bedanya, kali ini dari awal saya agak curiga. Masak iya perintis bisnis cantik dan kinclong gitu? Terus apa nggak panas kayuh gerobak pakai jaket kayak gitu? Ternyata, ini memang strategi pemasaran, dan mbak-mbak itu adalah Meilia Caramel. Kenapa dia pakai jaket juga ada alasannya, karena produk baru Wardah yang dia jajarkan memiliki efek menyejukkan. Saya cuma nggak menyangka, bahwa aksi ini dilakukan di Jogja. Iya, Jogja, bukan Jakarta atau Bandung di mana industri kecantikan lebih berkembang.
Konteks Lebih Mahal Daripada Konten
Dari dua fenomena ini, ada pelajaran berharga bagi kita para pekerja kreatif. Di tahun 2025, konten yang bagus saja tidak cukup. Kita butuh Konteks. Tavi berhasil karena mereka memahami Aspirasi. Mereka tahu bahwa target audiens mereka mendambakan estetika visual yang bersih dan modern ala Korea. Mereka memberikan "fantasi" yang bisa disentuh melalui pengalaman di booth.
Sementara itu, Wardah berhasil karena mereka memahami Relevansi. Mereka menyadari bahwa di tengah kondisi ekonomi yang dinamis, aksesibilitas dan kemasan ekonomis adalah kunci. Gerobak es krim bukan sekadar alat angkut, tapi simbol bahwa "kami ada di dekatmu".
Sebagai orang yang tinggal di Bandung, kota yang dikenal sebagai kiblat kreativitas, saya melihat kedua strategi ini sebagai bentuk adaptasi yang luar biasa. Tavi bermain di level psychological branding yang mengangkat citra, sedangkan Wardah bermain di level distribution innovation yang mendekatkan jarak dengan konsumen. Bagi kita para pemilik brand atau pembuat konten, pilihannya ada dua: Apakah kita ingin menjadi "Bintang" yang dikagumi dari kejauhan seperti strategi Tavi? Atau menjadi "Sahabat" yang hadir di depan pintu rumah seperti Wardah?
Keduanya tidak ada yang salah. Yang salah adalah ketika kita hanya diam dan mengikuti pola lama yang sudah usang di tengah algoritma yang terus berubah. Kreativitas tidak selalu tentang budget besar, tapi tentang keberanian untuk tampil "berbeda" di tempat yang "tak terduga".
Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih