
Di banyak kota dan desa di Pulau Sumatra, setiap tahun, terutama menjelang akhir tahun, kita makin sering membaca berita tentang banjir bandang, longsor, dan luapan sungai yang datang tiba-tiba. Di layar televisi dan gawai, kita menyaksikan rumah-rumah tersapu, jembatan putus, kebun hilang, dan wajah-wajah panik yang kehilangan keluarga.
Narasinya selalu hampir sama, hujan deras berjam-jam, cuaca ekstrem, volume air tinggi. Seolah-olah alam mendadak berubah beringas begitu saja. Padahal, jika kita berani menengok sedikit lebih jauh ke hulu, kita akan melihat ada yang jauh lebih kelam dari sekadar "hujan lebat" atau "cuaca ekstrem."
Banjir bandang di Tapanuli. Arus deras yang turun dari pegunungan tidak hanya membawa lumpur, tetapi juga kayu-kayu gelondongan berukuran besar, batang-batang utuh seukuran pelukan manusia. Apakah kayu-kayu sebesar itu tumbang hanya karena hujan? Sangat tidak mungkin.
Pohon besar tidak sekadar roboh begitu saja dalam satu malam. Kayu-kayu itu ditebang, dipotong, dan dibiarkan begitu saja di area hulu. Ketika hujan ekstrem datang, potongan-potongan kayu inilah yang hanyut, menghantam apa pun yang dilewatinya, memperparah daya rusak banjir bandang.
Kerusakan hutan di hulu adalah salah satu faktor kunci yang memperparah bencana alam di hilir. Sayangnya, kita sering menutup mata. Kita sibuk menyalahkan "bencana alam" seolah-olah alam yang tiba-tiba jahat, padahal manusialah yang mengondisikan alam menjadi sedestruktif ini.
Mau sampai kapan kita menjadi orang bodoh yang terus mengabaikan peringatan alam? Mau menunggu berapa banyak nyawa lagi yang hilang? Mau menunggu berapa ekor gajah lagi yang mati? Mau menunggu harimau sumatra benar-benar punah baru kita bergerak serius?
Hulu yang Hilang, Bencana di Hilir Datang
Pulau Sumatra memiliki bentang alam yang luar biasa bernama jajaran Pegunungan Bukit Barisan yang membentang sekitar 1.600 kilometer dari ujung utara hingga selatan pulau.
Dari rangkaian pegunungan inilah ratusan sungai besar dan kecil lahir, mengalir ke timur dan barat, memberi kehidupan bagi jutaan manusia di Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, dan Lampung.
Di hulu, air sungai itu berasal dari hutan-hutan lebat, tanah berakar kuat, serasah tebal, dan ekosistem yang masih utuh. Hutan di hulu bekerja seperti spons raksasa. Ketika hujan turun, tanah hutan menyerap air, menahannya sementara di lapisan tanah dan akar, lalu melepaskannya perlahan ke sungai.
Itulah sebabnya aliran sungai dari hutan yang sehat cenderung stabil, tidak terlalu surut saat kemarau, dan tidak meledak jadi banjir bandang saat musim hujan.
Namun, ketika hutan yang berfungsi sebagai spons tadi dibabat, fungsi spons-nya tadi hilang. Tanah terbuka dan gundul hanya mampu menahan sedikit air. Selebihnya akan langsung meluncur ke sungai, membawa serta tanah, batu, dan apa pun yang menghalangi jalannya.
Pada banyak daerah di Sumatra Barat dan Sumatra Utara, pola yang sama berulang. Hulu yang dulunya hutan kini berubah menjadi kebun monokultur, tambang terbuka, atau areal konsesi kayu. Jalan-jalan logging dibuka menembus bukit. Lereng dicukur habis tanpa mempertimbangkan daya dukung.
Ketika hujan ekstrem datang, air yang tak lagi diikat akar pohon langsung mengalir liar ke bawah. Itulah yang kemudian kita sebut "bencana."
Bukit Barisan: Rumah Satwa dan Penjaga Iklim
Lanskap Bukit Barisan bukan hanya deretan gunung dan sungai di peta. Di sanalah rumahnya harimau Sumatra, gajah Sumatra, badak Sumatra, dan orangutan Sumatra. Nama-nama yang sering kita dengar sebagai "satwa dilindungi" tetapi pelan-pelan menghilang dari hutan.
Di sana juga hidup puluhan suku dengan kearifan lokal yang memandang hutan bukan sekadar sumber kayu, melainkan ruang hidup, ruang sakral, dan bagian dari identitas mereka.
Selama berabad-abad, masyarakat adat sepanjang kaki Bukit Barisan hidup dengan logika ekosentris, yaitu manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasa tunggal.
Harimau dipandang sebagai "orangtua" penjaga hutan, gajah sebagai "saudara," dan badak sebagai "pelindung." Hutan-hutan yang menjadi habitat satwa kunci itu sering ditetapkan sebagai hutan larangan, tempat yang tidak boleh dirambah sembarangan.
Sayangnya, nilai-nilai ini kian terkikis ketika konsesi-konsesi skala besar masuk, membawa jargon pembangunan, investasi, dan pembukaan lahan. Hutan yang dulunya larangan berubah menjadi deretan titik koordinat di atas kertas, siap dieksploitasi.
Dalam hitungan tahun, tutupan hutan di banyak bagian Bukit Barisan menyusut drastis. Dan setiap hektare hutan yang hilang itu, kita telah menghilangkan satu lapis perlindungan terhadap bencana di hilir.
Dari Gergaji ke Gelombang Banjir
Lereng hulu di kawasan Tapanuli dulunya penuh pohon besar berakar dalam. Saat hujan deras, air menetes di daun, mengalir pelan ke batang, jatuh ke tanah berlapis serasah, lalu meresap. Air berlebih mengalir perlahan ke sungai-sungai kecil yang bening.
Coba kini kita bayangkan lereng yang sama setelah digunduli. Pohon besar hilang. Tanahnya dipadatkan alat berat. Saluran-saluran air kecil dipotong untuk jalan tambang. Ketika hujan ekstrem datang, air tidak lagi berputar-putar di kanopi dan serasah, tetapi langsung menghantam tanah terbuka, menyeret partikel tanah dan batu.
Longsor-longsor kecil mulai terbentuk di banyak titik. Sungai-sungai kecil berubah cokelat pekat. Di sepanjang jalurnya, kayu-kayu yang ditebang dan dibiarkan di bantaran ikut hanyut, menjadi peluru kayu yang menghantam apa pun di hilir.
Saat banjir bandang Tapanuli terjadi beberapa hari lalu, gambar-gambar kayu gelondongan yang menumpuk di jembatan, menabrak rumah, dan menyumbat aliran sungai adalah bukti telanjang bahwa ini bukan semata urusan "hujan ekstrem." Banjir bisa dipicu oleh hujan, tetapi daya rusaknya diperbesar oleh kita yang membiarkan hulu dikoyak.
Lucunya, kita, terlebih pemerintah menyebut peristiwa ini sebagai "bencana alam" tanpa menyertakan kata "ulah manusia." Sungguh picik dan sombong sekali. Tak sadarkah kita ini adalah bentuk pengingkaran?
Cuaca Ekstrem bukan Satu-satunya Biang Kerok
Perubahan iklim global membuat pola hujan di Indonesia semakin sulit diprediksi. Di Sumatra, musim hujan bisa datang lebih lambat, tetapi ketika tiba, intensitasnya sangat tinggi.
Hujan ekstrem yang dulu mungkin hanya terjadi sekali dalam beberapa tahun, kini muncul lebih sering. Namun perlu digarisbawahi, hujan ekstrem adalah pemicu, bukan satu-satunya penyebab bencana.
Hutan yang sehat mampu meredam dampak cuaca ekstrem. Itu sudah HUKUM ALAM YANG TIDAK BISA DIBANTAH. Sebagai Muslim, saya dan mungkin kamu yang membaca ini, pasti tahu beberapa firman Allah Swt.
Ayat-ayat Al-Qur'an tentang gunung sebagai pasak bumi menggambarkan peran gunung sebagai penstabil, baik secara fisik maupun ekologis. Dalam Surah An-Naba' ayat 7, Surah An-Nahl ayat 15, dan Surah Al-Anbiya' ayat 31, Allah menjelaskan bahwa gunung-gunung itu ditancapkan agar bumi tidak goncang, menjadi penyeimbang, dan memberi kemaslahatan bagi manusia.
Konsep "pasak" ini bisa dipahami bukan hanya dari struktur geologinya saja, tetapi juga dari ekosistem yang hidup di atasnya, terutama hutan di hulu (gunung).
Gunung yang berhutan memiliki fungsi "pasak" yang lebih sempurna, karena beberapa hal.
-
Hutan memperkuat tubuh gunung sebagai penahan longsor Akar pepohonan di hutan pegunungan menembus jauh ke dalam tanah dan batuan. Akar-akar ini bekerja seperti jaring pengikat, sama seperti fungsi pasak yang menguatkan tenda. Ketika hujan deras, akar membantu tanah tetap padat dan stabil sehingga lereng gunung tidak mudah ambruk. Ini sejalan dengan gambaran Al-Qur'an bahwa gunung membuat bumi "tidak bergoncang" karena dengan hutan yang sehat, lereng gunung tidak mudah runtuh atau bergerak.
-
Hutan gunung menjadi peredam guncangan (gempa) dari sisi ekologis Memang gunung secara geologis adalah struktur kokoh yang menstabilkan lempeng. Namun hutan di atas gunung memberi fungsi tambahan. Lapisan tanah yang tebal akibat serasah, akar, dan vegetasi mampu meredam getaran serta mengurangi risiko runtuhan tanah setelah gempa. Ekosistem yang terjaga membuat gunung tetap kokoh menjalankan "fungsi pasak"-nya itu.
-
Hutan gunung adalah benteng alami penahan banjir Gunung yang berhutan mampu menahan air hujan lewat tajuk daun, serasah, dan akar yang menyerap air. Aliran air mengalir perlahan ke sungai, bukan langsung meluncur deras seperti di daerah gundul yang kita saksikan di Sumatra Utara baru-baru ini. Dengan begitu, hutan gunung berperan sebagai penyangga (buffer) yang mencegah banjir besar di permukiman bawah. Allah menyebutkan gunung sebagai bagian dari sistem alam yang memudahkan manusia dan hutan gunung adalah salah satu bentuk "kemudahan" itu.
-
Kebesaran Allah terlihat dari integrasi antara gunung dan hutan Ayat-ayat tadi menegaskan kekokohan gunung, dan ilmu modern membuktikan bahwa struktur gunung memang tertancap seperti "pasak" ke dalam kerak bumi. Kini, pengetahuan ekologi menunjukkan bahwa tanpa hutan, gunung kehilangan sebagian besar kemampuan stabilisasinya. Dengan hutan, gunung menjadi sistem penyangga kehidupan yang lengkap, mulai dari mencegah longsor, banjir, kekeringan, bahkan menjaga keanekaragaman hayati. Ini menunjukkan bahwa ciptaan Allah selalu sempurna dan saling melengkapi, di mana gunung sebagai struktur besar, dan hutan sebagai penutup bumi yang memperkuat fungsi tersebut. Gunung dan hutan menciptakan stabilitas hidup. Air terjaga, tanah tidak bergerak, dan bencana dapat diminimalkan. Inilah bentuk rahmat Allah melalui desain alam yang sangat rapi dan terukur.
Manusia dan Satwa Sama-sama Jadi Korban
Kerusakan hutan di hulu tidak hanya merugikan manusia yang tinggal di hilir. Satwa liar yang selama ini kita banggakan sebagai kekayaan hayati Nusantara juga menanggung akibatnya.
Habitat yang terfragmentasi membuat harimau, gajah, dan satwa besar lainnya terdesak keluar dari rumahnya. Mereka masuk ke kebun, kampung, dan jalan raya, bukan karena mereka "jahat," tetapi karena ruang hidupnya kita persempit.
Konflik manusia dengan harimau Sumatra di sejumlah provinsi di Sumatra meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Harimau yang tersesat ke kebun kopi, sawit, atau permukiman sering berakhir mati karena diracun, dijerat, atau diburu secara ilegal.
Gajah Sumatra kehilangan jalur jelajahnya, terperangkap di kantong-kantong hutan yang tersisa, atau mati karena konflik dan perburuan gading.
Setiap kali saya membaca berita harimau mati terkena jerat atau gajah ditemukan tak bernyawa di pinggir kebun, pedih hati saya ini, saya pasti menangis. Tidakkah kita sadar itu sebenarnya adalah alarm dari hulu, bahwa ada yang sangat salah dengan cara kita mengelola lanskap?
Dan di hilir, manusia menanggung akibatnya dalam bentuk banjir, longsor, kekeringan di musim kemarau, hingga hilangnya mata pencaharian. Sawah rusak, kebun tergerus, infrastruktur hancur, dan trauma psikis yang tidak mudah hilang.
Berapa banyak anak yang harus tumbuh dengan memori banjir bandang yang merenggut orangtuanya, atau orang tua yang menemukan jasad putra-putri mereka membiru karena tertimbun longsor? Kapan kita benar-benar mengakui bahwa kerusakan hutan hulu adalah kejahatan ekologis yang kita lakukan bersama?
Mau Sampai Kapan Pak Presiden?
Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya terus kita ulang, mau sampai kapan pemerintah daerah dan pusat berpura-pura tidak tahu? Mau menunggu berapa banyak nyawa lagi yang hilang?
Di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan provinsi lain, kita sebetulnya sudah berkali-kali diperingatkan. Setiap banjir besar, setiap jembatan putus, setiap video kayu gelondongan yang menumpuk di sungai adalah "surat terbuka" dari alam. Sayangnya, surat ini terlalu sering kita robek sebelum sempat dibaca.
Esoknya, ritme lama kembali terjadi. Izin-izin baru terbit, konsesi diperpanjang, dan kritik dianggap sebagai penghambat pembangunan. Bahkan, presiden kita sendiri dengan sadar melegalkan deforestasi dengan membuka lagi 600 ribu hektare lahan sawit baru. Mirisnya, presiden kita tidak bisa membedakan mana yang disebut "pohon" dan "bukan pohon." Sungguh, sungguh, sungguh PRIHATIN saya.
Saya memohon pada Anda, Pak Presiden, cabut izin itu. Kita tidak butuh membuka hutan baru. Cukup optimalkan lahan-lahan perkebunan yang sudah ada dan sudah luasnya tak terhingga itu.
Mari belajar bersama lagi bahwa hutan heterogen, yang penuh keanekaragaman hayati, akar berlapis, dan struktur beragam, sangatlah jauh lebih sempurna daripada hutan homogen yang hanya tampak hijau dari atas, tetapi rapuh di dalamnya.
Hutan yang beragam adalah benteng terakhir yang menjaga tanah, air, udara, dan masa depan bangsa ini, Pak, kita semua, anak cucu Bapak juga. Jika hutan hilang, kita bukan hanya kehilangan pepohonan, Pak, kita kehilangan sistem perlindungan yang Allah amanahkan untuk kita jaga.
Apa yang Harus Diubah?
Membuka mata terhadap dampak kerusakan hutan di hulu berarti berani mengubah cara pandang. Berikut beberapa hal mendasar yang perlu kita lakukan bersama, dari negara hingga warga biasa.
Pertama, marilah kita akui bahwa kerusakan hutan adalah faktor utama bencana. Selama narasi resmi hanya menyebut "curah hujan tinggi" atau "cuaca ekstrem dari Selat Malaka" tanpa menyebut "tata guna lahan kacau," kita akan terus mengobati gejala tanpa menyentuh akar masalahnya.
Kedua, mari perketat dan evaluasi izin di kawasan hulu. Hulu bukan tempat untuk bereksperimen dengan tambang, kebun monokultur skala besar, atau infrastruktur tanpa kajian lingkungan yang benar-benar serius.
Ketiga, pulihkan hutan yang sudah rusak. Rehabilitasi tidak cukup dengan menanam monokultur cepat tumbuh. Hutan tropis lembab yang kompleks membutuhkan restorasi ekosistem, melibatkan jenis-jenis lokal, dan partisipasi masyarakat.
Keempat, perkuat peran masyarakat adat dan lokal. Mereka yang hidup paling dekat dengan hutan sering memiliki kearifan menjaga lanskap. Tapi suara mereka kerap diabaikan dalam rapat-rapat resmi. Ini harus diubah.
Kelima, tegakkan hukum secara konsisten. Banjir bandang yang membawa kayu gelondongan seharusnya memicu penyelidikan menyeluruh. Kayu itu berasal dari mana, siapa pemegang izinnya, dan adakah pelanggaran tata kelola di sana?
Keenam, ubah pola konsumsi dan gaya hidup. Permintaan terhadap produk-produk yang mendorong pembukaan huta, dari minyak sawit murah hingga kayu ilegal, tidak akan berhenti jika kita tidak merombak cara kita membeli dan menggunakan barang.
Terakhir, mari didik generasi muda tentang ekologi hulu-hilir. Anak sekolah harus paham bahwa sungai di depan rumahnya terhubung dengan hutan di bukit-bukit jauh di sana. Tanpa pemahaman ini, lingkaran kebodohan ekologis akan terus berputar di generasi kita.
Saatnya Tidak Lagi Menutup Mata
Membuka mata terhadap dampak kerusakan hutan di hulu berarti berani mengakui andil manusia dalam setiap bencana yang terjadi. Ini bukan ajakan untuk saling menyalahkan, melainkan undangan untuk bertanggung jawab bersama. Pemerintah, korporasi, masyarakat adat, warga kota, akademisi, dan aktivis lingkungan, semua punya peran.
Ketika kita mengganti istilah "bencana alam" menjadi "bencana ekologis," kita sebenarnya sedang menggeser fokus dari menyalahkan cuaca ke mengaudit pilihan-pilihan manusia.
Dari sana, jalan perubahan bisa mulai dirintis. Mungkin tidak akan menghapus banjir besok atau lusa, tetapi setidaknya kita berhenti menjadi orang bodoh yang menolak membaca tanda-tanda zaman.
Hutan-hutan di hulu Sumatra masih tersisa, meski terus terdesak. Gajah Sumatra masih berkeliaran, meski jalur jelajahnya kian sempit. Harimau Sumatra masih mengaum di beberapa sudut hutan, meski jejaknya makin jarang. Apakah kita akan membiarkan semua ini tinggal nama dalam buku sejarah, atau kita memilih untuk menjaga mereka tetap hidup?
Jawabannya ada pada setiap keputusan hari ini. Apa yang kita beli, apa yang kita dukung, apa yang kita protes, dan sejauh mana kita berani bersuara. Hutan yang hilang tidak akan kembali dalam satu malam, tetapi kebijakan yang tepat dan keberanian moral bisa menghentikan laju kehancuran.
Sebelum banjir bandang berikutnya datang membawa lebih banyak kayu gelondongan dan lebih banyak nyawa melayang, inilah saatnya membuka mata dan benar-benar bertindak.
Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih