Dari Cinta Keluarga, Kata-Kata Menyatukan Harapan

Erlita Irmania
0

Perjalanan Kembali ke Dunia Kepenulisan

Dulu, sekitar 24 tahun lalu, sebuah tulisan saya pernah memenangkan juara pertama dengan hadiah uang yang cukup untuk membeli komputer bekas. Pada masa itu, komputer masih dianggap barang mahal. Rasa bangga dan motivasi tiba-tiba melonjak. Terlebih ketika informasi menyebutkan bahwa peserta lain yang mengikuti lomba menulis kala itu memiliki gelar master atau minimal sarjana, sedangkan saya hanya lulusan SMA sederajat.

Oleh karena itu, saya sempat tidak yakin dan merasa juri lomba telah keliru mengumumkan. Sehingga pada kesempatan itu saya melontarkan pertanyaan, "Apakah ini bukan kebetulan?" Namun, peristiwa tersebut memberi rasa percaya diri yang tumbuh dan mulai berani mengambil tantangan dengan ikut lomba menulis di berbagai kesempatan. Saya juga mencoba mengajukan beberapa tulisan seperti artikel, cerpen, esai hingga novel bertema diary ke beberapa media arus utama.

Namun semua upaya gagal. Tidak satu pun lomba yang saya ikuti menang. Tidak ada satu pun tulisan yang terpublikasi atau naik cetak. Saya mulai ragu dan patah semangat. Realita itu seolah menjawab pertanyaan yang sempat saya lontarkan, "Sepertinya kemenangan dulu itu benar-benar hanya kebetulan", bukan kemampuan. Kemudian stagnan di dunia kepenulisan.

Saya merasa selesai di dunia literasi, berhenti membaca dan tak lagi mengolah data apalagi kata. Karena merasa tidak memiliki bakat. Frustasi ke tingkat terendah. Hingga suatu saat lima tahun lalu dan dalam tiga tahun terakhir semangat itu kembali mencuat ketika mengenal blog Erfa News.

Semangat yang sebenarnya bermula dari rasa cinta akan keluarga. Berangkat dari kehadiran tubuh mungil, kaki, tangan dan jari-jari kecil serta tatapan mata tajam yang menyorot dari sebuah kotak inkubator, yang seolah berkata, "Ayah aku butuh masa depan yang lebih baik". Setelah adzan yang saya gemakan di dekat telinganya.

Hari itu tahun 2020, bulan September ketika wabah covid masih melanda dunia. Anak pertama saya lahir, yang dari tangisan pertamanya terdengar seperti menagih janji kepada seorang ayah yang do'anya telah dikabulkan Tuhan, "Mana kebahagiaanku atas rasa syukurmu, Ayah?"

Lalu pada 10 Juli 2023, bayi perempuan mungil nan putih cantik mengintip dari balik selimut yang diililitkan ke tubuhnya. Dalam setiap tangisnya yang menagih tetesan susu ibunya, dan dalam sesekali rengekannya seperti memberi pesan yang juga menagih janji "Ayah jangan sia-siakan aku! Berjanjilah untuk masa depanku yang lebih baik".

Sebuah janji tak tertulis yang bahkan tak terucap tapi wajib dilunasi oleh setiap ayah di muka bumi. Pelunasan yang harus segera ditepati atas kewajiban dan tanggung jawab dengan penuh cinta dan kasih sayang untuk mampu memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.

Dari sebuah janji tak terikat itulah saya kembali menggali-gali tulisan lama yang masih tersimpan dan belum terselesaikan. Membacanya, meramu ulang, menyusun dalam kerangka rencana untuk menyelesaikan tiga judul buku. Membuang jauh-jauh rasa frustasi yang sempat membunuh asa sambil berujar, "Pasti bisa".

Setidaknya selesai minimal satu buku dalam satu tahun. Target yang sebenarnya tidak terlalu muluk. Walaupun begitu, terlintas sebaris tanya pesimis, apakah di era yang sudah serba digital seperti sekarang masih akan ada masa depan bagi siapa pun di dunia kepenulisan?

Pertanyaan itu sekejap pudar saat sekilas senyum dan tawa bahagia dari dua wajah kecil menutupi ketidakmungkinan dengan seuntai kata, "Ayah ingatlah kami! Selama masih ada asa dan upaya yang tak berhenti dilakukan, percayalah Tuhan akan bosan memberimu kegagalan".

Waktu itu semangat saya didukung oleh sebuah laptop pinjaman dari kantor yang bisa fleksibel digunakan pada masa WFH sehingga segala prosesnya menjadi jauh lebih mudah. Tetapi dua tahun berjalan tulisan masih tak mengalami kemajuan. Tulis, baca, hapus, edit, hilang, tulis ulang, riset, berputar-putar terus di sana. Dan nyatanya, kerangka tulisan masih tetap tampak layaknya tulang-belulang tanpa isi, tanpa daging, apalagi dibalut kulit. Rencana buku stagnan.

Saya coba ubah strategi dan mencari tahu tentang blog termudah yang bisa membuat tulisan saya terpublikasi sepotong demi sepotong (artikel demi artikel). Sebuah cara yang mulai banyak dilakukan oleh sejumlah penulis dalam menyusun sebuah buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Diunggah dan disebarkan bagian demi bagian.

Akhirnya, pada salah satu platform digital berbasis aplikasi dan situs web yang menyediakan karya berupa tulisan, komik, ilustrasi, animasi, audio, dan video, saya berlabuh. Awalnya, saya mengunggah sampai tiga artikel di sana. Tapi tipikal platform itu sepertinya lebih ramah pada pembaca berjenis fiksi dan komik, membuat saya urung merenda kata merajut asa di dalamnya.

15 November 2022 saya beralih dan bergabung di Erfa News setelah membaca beberapa artikel non fiksi yang menarik. Tiga topik buku tetap ada dalam daftar rencana, cuma tidak lagi menjadi target utama. Lalu dengan sasaran yang sama dalam rentang waktu lebih panjang, saya targetkan lagi minimal satu buku harus selesai di akhir tahun 2024. Sebuah resolusi yang seharusnya mudah.

Namun dari satu, dua, tiga hingga 350-an artikel yang terpublikasi dalam merenda kata merajut asa di Erfa News, sampai akhir tahun 2024 target buku tetap belum menampakan siluetnya. Artikel-artikel yang saya tulis dalam mengikuti alur topik pilihan di Erfa News dalam merenda kata tidak memperkaya referensi data ke tema buku. Ada gap yang tak cocok untuk dikorelasikan antara tema buku dengan topik-topik pilihan yang diangkat Erfa News.

Padahal dengan rasa percaya diri yang tinggi saya pernah bilang pada istri bahwa jalan lain yang paling potensial untuk dapat mengundang pintu-pintu rezeki di luar pekerjaan dalam menggapai impian di luar batas logis pada usia saya sekarang adalah dengan menulis. Sebuah idealisme dibalik realitas yang kembali hidup meskipun sepertinya masih berbanding terbalik dengan kenyataan, dan lagi-lagi mendatangkan pertanyaaan yang harus dijawab, apakah menjadi penulis atau menulis buku di era serba digital masih punya masa depan?

Jelang akhir tahun 2023 laptop pinjaman dari kantor ditarik karena pandemi berangsur reda, aktivitas kerja kembali WFO. Harapan redup lagi, bagaimana bisa menyelesaikan sebuah buku tanpa media pendukung. Semangat menulis pun jadi datang dan pergi, tak jarang bisikan kalimat yang dulu membuat keinginan menulis terhenti, membisik ulang, "Kemenangan dulu itu hanya benar-benar kebetulan bukan kemampuan, menyerahlah!", persis sama dengan bisikan, "Buat apa salat, buat apa berdoa, buat apa berusaha jika tak menunjukkan hasil. Berhentilah!?"

Tapi bisikan-bisikan semacam itu kali ini bisa selalu ditepis oleh senyum dan tawa renyah dari kedua wajah kecil yang selalu menghadirkan rindu. Kegembiraan remeh yang bisa datang hanya ketika keduanya menyeruput lembutnya es krim atau saat keduanya dengan antusias dan keceriaan mengucap 'terima kasih ayah' waktu dibawakan sekantong kecil jajanan ringan. Potongan-potongan cerita ringan yang sering kali menguatkan kasih untuk menunjukkan arah bahwa cinta dapat lebih besar dan lebih kuat dari apa pun yang kita punya. Lalu saya coba telusuri lubang-lubang kegelisahan dengan tautan benang aksara, berbagi rasa dan cerita walaupun hanya tersisa satu lubang cahaya nun jauh di sana.

Melihat, membaca dan meresapi inspirasi dari sejumlah Kompasianer yang terus menulis meski pembaca semakin sepi, dan barangkali nanti suatu hari hanya menyisakan mahluk gaib yang menyukai literasi, mereka tetap menulis. Dari sini saya mengintip dan mengintai lagi inspirasi yang datang dari Kompasianer Merza Gamal, yang tidak pernah berhenti menulis dengan keberanian sekalipun kerap dijegal dan dijagal.

Ada Kompasianer Bambang Trim, yang ternyata memiliki bergudang pengalaman di dunia penerbitan dan telah menulis hingga mencapai seratusan judul buku. Kemudian ada Kompasianer Airani Listia, lewat artikel berjudul "Langkah Praktis Menulis Buku Non Fiksi dalam 60 Hari", yang bercerita tentang seorang ibu rumah tangga yang mampu menulis dalam waktu 60 hari bahkan cenderung dilakukan dengan menggunakan handphone, dan berbagai inspirasi lain dari Kompasianer hebat lainnya.

Berangkat dari cinta keluarga via Erfa News di hari Sweet 17 Erfa News, lengkap dengan inspirasi dari mereka yang semangatnya tak bisa dipatahkan pada rumah yang selalu bisa membuatnya kembali, saya, yang bahkan hanya berbekal kemampuan menulis yang minimalis, masih di sini, di Erfa News, merenda kata merajut asa. Bertahan untuk membangun sebentuk cinta keluarga agar bergegas lepas dari buta literasi dan berbagai ketinggalan guna meraih sisa cahaya yang belum mampu terserap dan diserap, dengan tetap dan terus berupaya merenda kata merajut asa meski terseok-seok.

Serta terus memaksa semangat itu agar tetap ada dan tumbuh, dengan selalu mengingat sebaris kalimat yang kerap berbisik pelan dan berulang, "Jangan menyerah sekarang jika tak ingin semua selesai! Buatlah Tuhan bosan dengan kegagalanmu!"

Post a Comment

0Comments

Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih

Post a Comment (0)