Sekarang ini mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Fakta ini terasa di mana-mana, baik itu di kota-kota besar maupun daerah. Lowongan pekerjaan yang tersedia sedikit, sementara perusahaan semakin selektif karena kondisi ekonomi yang tidak sekuat dulu. Masih ada banyak lulusan yang memiliki skill yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Akibatnya, meskipun banyak orang aktif melamar, peluang mendapatkan pekerjaan yang layak—dengan gaji cukup, jenjang karier, dan jaminan yang memadai—semakin sempit, terutama bagi anak muda yang baru lulus.
Di sisi lain, ketika lowongan benar-benar muncul, penawarannya seringkali hanya upah pas-pasan. Bukan hanya jumlahnya yang kurang, kualitasnya juga menjadi masalah: pekerjaan informal, kontrak singkat, atau gaji yang hanya cukup untuk kebutuhan paling dasar. Hal ini membuat banyak orang yang ingin pindah kerja sering kali ditampar oleh realita bahwa “ada kerja, tapi nggak cukup”—dan ini bisa membuat bingung.
Nah, dalam situasi seperti ini, banyak orang memilih untuk tetap bertahan di pekerjaan lama meski gajinya kurang memadai. Mengapa? Ada beberapa alasan yang membuat mereka lebih memilih aman dengan penghasilan kecil daripada ambil resiko keluar dan cari yang baru.
1. Ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja dan lowongan
Sekarang ini jumlah orang yang mencari pekerjaan jauh lebih banyak daripada lowongan yang tersedia. Bayangkan, setiap tahun lulusannya banyak, orang yang di-PHK juga nambah, tapi perusahaan tidak selalu membuka posisi baru sebanyak itu. Akibatnya persaingan jadi ketat: satu lowongan bisa dilamar puluhan sampai ratusan orang. Untuk pelamar, artinya peluang dipanggil wawancara atau langsung dapat pekerjaan layak jadi kecil—apalagi kalau pengalaman atau skill yang dimiliki belum menonjol.
Sederhananya ini membuat: * Lamaran sering tidak dibalas. * Perusahaan selektif pilih yang “sempurna” (padahal jarang ada yang benar-benar sempurna). * Orang terpaksa terima pekerjaan yang bukan bidangnya atau bergaji rendah hanya supaya tidak menganggur.
2. Perlambatan ekonomi membuat perusahaan membatasi rekrutmen
Kalau ekonomi melambat, omzet bisnis turun atau perusahaan jadi berhati-hati mengeluarkan biaya. Salah satu langkah cepatnya yaitu tunda rekrutmen, kurangi penerimaan karyawan baru, atau bahkan PHK. Jadi walau ada kebutuhan di pasar, perusahaan lebih memilih mempertahankan tenaga kerja yang ada dan menunda ekspansi. Konsekuensinya: * Lowongan berkurang atau jarang muncul. * Perusahaan cenderung merekrut hanya untuk posisi kritis atau menggantikan yang resign. * Banyak perusahaan tawarkan kontrak sementara atau status freelance daripada karyawan tetap supaya beban biaya lebih fleksibel.
3. Skill mismatch antara lulusan dan kebutuhan industri
Skill mismatch itu ketika kompetensi yang dimiliki pencari kerja tidak sesuai apa yang perusahaan butuhkan. Contohnya banyak lulusan jurusan A, tapi industri butuh skill B (misal: digital marketing, data analysis, pemrograman). Ini bisa terjadi karena kurikulum pendidikan belum update, pelatihan vokasi minim, atau karena industri bergerak cepat sementara pendidikan lambat beradaptasi. Imbasnya: * Perusahaan kesulitan menemukan kandidat yang “siap kerja”. * Lulusan punya ijazah tapi belum punya keahlian praktis yang bisa dipakai langsung. * Banyak lulusan akhirnya masuk ke pekerjaan non-profesional atau sektor informal yang tidak cocok dengan latar pendidikannya.
Gabungan ketiga faktor tadi membuat peluang untuk dapat pekerjaan yang layak (gaji cukup, kontrak aman, jenjang karier) jadi tipis. Bukan cuma sulit dapat pekerjaan, tapi sulit dapat pekerjaan yang sesuai ekspektasi hidup—maupun yang mampu menutupi biaya hidup. Fakta di lapangan menunjukkan kepada kita, yaitu: * Lebih banyak orang menerima pekerjaan bergaji rendah karena pilihan minim. * Muncul fenomena “underemployment”: orang punya pekerjaan tapi jam kerja atau bayaran tidak sesuai kemampuan atau kebutuhan mereka. * Tingkat pengangguran atau pengangguran terselubung (orang keluar dari angkatan kerja karena putus asa cari kerja) bisa meningkat. * Orang jadi ragu untuk resign ambil resiko, sehingga bertahan di pekerjaan yang payah.
Inilah Alasan Utama Pekerja Memilih Bertahan
1. Takut Tidak Mendapat Pekerjaan Baru
Banyak orang memilih bertahan karena ketakutan tidak ada pekerjaan pengganti kalau resign. Itu wajar karena: * Pertama, Persaingan ketat. Satu lowongan bisa dilamar puluhan atau ratusan orang, jadi kemungkinan lolos itu kecil. * Kedua, Proses cari kerja butuh waktu. Dari kirim CV, tes, interview sampai offer bisa berbulan-bulan — selama itu penghasilan berhenti. * Ketiga, Biaya hidup tetap jalan. Sementara tabungan mungkin cuma sedikit, menunggu pekerjaan baru tanpa penghasilan bisa bikin kondisi finansial cepat terancam. * Keempat, Trauma pengalaman. Beberapa orang pernah menganggur lama sebelumnya, jadi mereka lebih memilih aman ketimbang coba-coba keluar.
2. Gaji di Tempat Lain Belum Tentu Lebih Baik
Salah satu alasan sederhananya karena banyak lowongan yang beredar bukan berarti gajinya lebih tinggi. Realitanya seringkali: * Pertama, Upah di pasar sama atau lebih rendah. Perusahaan baru kadang kasih gaji selevel atau bahkan kurang, apalagi untuk entry level. * Kedua, Kompensasi total berbeda. Meski gaji pokok mirip, benefit seperti BPJS, tunjangan, atau cuti mungkin lebih sedikit di tempat baru. * Ketiga, Biaya switching. Pindah kerja berarti adaptasi — ada kemungkinan jam kerja tidak cocok, lokasi jauh (biaya lebih untuk transport), atau kebutuhan tambahan (seragam, peralatan). * Keempat, Resiko budaya kerja buruk. Tempat baru belum tentu ramah — lingkungan yang toxic bisa menghabiskan energi dan karier.
3. Kebutuhan Mendesak & Rutinitas Stabil
Stabilitas itu murah tapi berharga. Banyak orang bertahan karena: * Pertama, Pemasukan rutin penting. Gaji meski kecil memberi kepastian untuk kebutuhan harian — makan, transport, tagihan. Kehilangan kestabilan itu stres berat. * Kedua, Rutinitas memberi kontrol. Walau bukan ideal, rutinitas kerja membuat hidup teratur; jam kerja jelas, tugas terprediksi, sehingga perencanaan keuangan atau keluarga lebih mudah. * Ketiga, Biaya adaptasi di tempat baru. Pindah kerja kadang butuh waktu untuk 'setel' sehingga penghasilan efektif bisa terasa lebih dulu. * Keempat, Efek psikologis. Kepastian pekerjaan mengurangi kecemasan—orang lebih memilih tidak ambil resiko yang bisa memicu stres atau beban mental.
4. Tanggung Jawab Finansial
Ini alasan yang paling masuk akal sih: tanggung jawab membuat orang sulit ambil resiko. * Pertama, Kewajiban jangka pendek. Cicilan rumah/kendaraan, bayar sekolah anak, tagihan bulanan — semua harus dibayar tepat waktu. * Kedua, Tanggung jawab keluarga. Seringkali keluarga bergantung pada pendapatan (orang tua, anak, saudara). Resign tanpa rencana bisa berdampak pada banyak orang. * Ketiga, Ketiadaan jaring pengaman. Tidak semua orang punya tabungan, keluarga yang bisa membantu, atau akses kredit yang mudah. * Keempat, Konsekuensi sosial. Kehilangan pekerjaan bisa menimbulkan tekanan sosial — malu, sampai sulit menjelaskan pada keluarga atau kreditur.
Alternatif yang Banyak Dipilih Pekerja
1. Mencari Pekerjaan Sampingan (Side Job)
Banyak pekerja akhirnya memilih mencari side job untuk menambah pemasukan tanpa harus resign dari kerjaan utama. Ini dianggap cara paling aman karena tetap punya gaji tetap setiap bulan, tapi ada tambahan dari kerjaan sampingan. Bentuknya juga beragam, tergantung skill dan waktu yang dimiliki: ada yang jualan online, freelance desain, content creator, ngajar privat, jadi admin online shop, sampai ojek online part time. Keunggulannya jelas: * Penghasilan bertambah tanpa kehilangan penghasilan utama. * Bisa dikerjakan di luar jam kantor. * Beberapa side job bisa berkembang jadi sumber income yang lebih besar daripada kerjaan utama.
Tapi, tantangannya juga ada, seperti capek atau waktu istirahat berkurang, namun banyak yang tetap ambil karena itu lebih realistis dibanding resign dan mulai dari nol lagi.
2. Memperbaiki Skill
Cara lain yang banyak dipilih adalah upgrade skill. Bukan hanya skill besar seperti coding atau desain, tapi juga skill-skill kecil yang relevan dengan pekerjaan. Contohnya skill komunikasi, Excel, content writing, digital marketing, bahasa Inggris, dan sebagainya. Sekarang banyak kursus murah atau bahkan gratis yang bisa diambil online. Tujuannya: * Supaya lebih “laku” di pasar kerja. * Meningkatkan peluang dapat pekerjaan yang lebih layak. * Bisa membuka pintu ke profesi baru yang mungkin gajinya lebih tinggi.
Banyak pekerja sadar bahwa salah satu alasan mereka susah pindah adalah skill mismatch. Jadi upgrade skill dianggap investasi jangka panjang—meski efeknya baru terasa nanti, bukan besok.
3. Bertahan Sambil Menunggu Kesempatan Baru
Ini strategi yang paling laku dipasaran: tetap kerja seperti biasa sambil pelan-pelan cari peluang baru. Orang menghindari resign lebih dulu karena terlalu beresiko, jadi mereka kirim CV, ikut interview, dan membangun koneksi di balik layar. Kalau sudah ada offer yang jelas dan gajinya lebih baik, baru deh berani cabut. Keuntungannya: * Tidak kehilangan pemasukan sama sekali. * Meminimalkan resiko stres karena menganggur. * Bisa pilih-pilih perusahaan yang benar-benar cocok.
Pada akhirnya, banyak orang memilih strategi ini karena aman. Tidak gegabah, tapi tetap berusaha memperbaiki nasib pelan-pelan.
Situasi pasar kerja saat ini memang sedang sulit. Lowongan terbatas, persaingan tinggi, dan banyak skill yang belum sesuai dengan kebutuhan industri. Kondisi ini membuat proses mencari kerja jadi lebih lama dan menantang. Karena itu, langkah paling masuk akal adalah terus menyesuaikan diri—mulai dari meningkatkan kemampuan, memahami kebutuhan pasar, sampai lebih selektif dalam menentukan arah karier. Tidak mudah, tapi ini realitas yang perlu dihadapi.
Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih