Standar Sempurna Medsos: Jebakan Merasa Tertinggal

Erlita Irmania
0

Dahulu kala, ada masa di mana keheningan adalah ruang yang nyaman, sebuah tempat untuk kembali pulang pada diri sendiri. Kita menjalani hidup tanpa dorongan untuk membandingkan setiap langkah, pencapaian, atau arah hidup kita dengan orang lain. Bangun pagi tidak pernah berarti harus memeriksa apakah kehidupan kita "cukup menarik" untuk dibagikan kepada dunia.

Namun, hari ini realitasnya berbeda. Sebelum kita bahkan sempat membuka pintu rumah, layar ponsel sudah menyala. Sebelum kita sempat bertanya pada diri sendiri "Apa kabar?", kita sudah terlebih dahulu menyerap kabar dari seluruh penjuru dunia. Di dalam jagat maya yang kita sebut media sosial ini, setiap orang seolah menampilkan versi terbaik mereka: lebih bahagia, lebih sukses, lebih rupawan, lebih mapan, bahkan lebih memiliki arah tujuan hidup.

Media sosial telah bertransformasi menjadi ruang publik baru tempat kita memamerkan kehidupan, mengamati orang lain, dan secara aktif membangun citra diri. Apa yang dulunya hanya bisa diintip melalui percakapan tatap muka atau pertemuan informal, kini terpampang nyata di layar kecil yang tak pernah lepas dari genggaman kita.

Setiap hari, kita dibanjiri berbagai pembaruan: foto-foto liburan eksotis, kabar tentang prestasi luar biasa, pencapaian karier gemilang, rekomendasi gaya hidup terkini, bentuk tubuh ideal, hubungan romantis yang tampak sempurna, hingga rutinitas harian yang dibalut estetika memukau. Media sosial menawarkan dunia yang dinamis dan penuh warna, namun di saat yang sama, ia turut membawa serta tekanan psikologis yang tak kasat mata namun berdampak sangat nyata.

Seringkali, kita tidak menyadari bahwa kita tengah duduk dalam sebuah ruangan yang dipenuhi kaca pembesar. Setiap detail kehidupan orang lain ditampilkan dengan begitu terang benderang, sementara detail kehidupan kita sendiri terasa seperti bayangan yang meredup. Keraguan mulai merayap, dan pertanyaan muncul, "Apakah aku sudah cukup? Sementara orang lain melesat jauh, apakah aku sedang tertinggal?"

Setelah tenggelam dan larut dalam pusaran media sosial, kehidupan kita sendiri tiba-tiba terasa biasa saja, bahkan kurang memuaskan. Kita merasa lambat, tertinggal, dan meyakini bahwa kehidupan ini tidak cukup baik. Di balik lapisan filter dan sorotan cerita orang lain, tumbuhlah persepsi yang meresahkan: "Semua orang lebih baik dariku."

Perasaan ini muncul perlahan, tanpa kita sadari pada awalnya. Namun lama-kelamaan, kita dihadapkan pada pemandangan yang membenturkan realitas diri kita dengan bayangan orang lain. Kita mulai bertanya-tanya, "Apakah semua orang benar-benar memiliki kehidupan yang sesempurna itu?" atau "Ataukah hanya aku saja yang jalannya begitu lambat?"

Perlahan tapi pasti, terjadi pergeseran persepsi kita tentang apa itu kebahagiaan, kesuksesan, dan penerimaan diri. Media sosial memang menyediakan ruang untuk berekspresi, namun ia juga menciptakan standar kesempurnaan yang sulit, bahkan mustahil untuk dicapai. Apa yang semula menjadi hiburan, kini berubah menjadi kebiasaan yang secara fundamental memengaruhi cara kita memandang diri sendiri. Kita mulai menilai kualitas hidup bukan dari apa yang kita rasakan secara intrinsik, melainkan dari bagaimana kehidupan itu terlihat jika dibandingkan dengan apa yang berseliweran di linimasa media sosial.

Mungkin saja, kita menjadi lebih sering memeriksa notifikasi daripada memeriksa suasana hati kita sendiri. Begitulah, media sosial perlahan merayap masuk mengisi ruang-ruang hidup kita. Sampai pada akhirnya, kita menganggap media sosial bukan sekadar aplikasi, melainkan sebuah kebiasaan, bahkan ritme kehidupan itu sendiri.

Media sosial secara halus menciptakan sebuah realitas alternatif, yang hanya menampilkan bagian-bagian terbaik dari kehidupan. Di sana, segalanya tampak teratur, jelas, dan mengesankan. Tidak ada hari buruk, tidak ada kegagalan, tidak ada kebingungan yang kita alami dalam kehidupan nyata. Hal ini membuat kita lupa bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang penuh dengan proses, jeda, dan ketidaksempurnaan.

Media sosial mungkin tidak secara eksplisit menyatakan, "Beginilah seharusnya hidup," namun ribuan postingan yang muncul di linimasa kita mengirimkan pesan serupa: bahwa hidup yang baik harus terlihat glamor, produktif, menarik, dan penuh pencapaian. Padahal, kehidupan nyata kita jarang sekali berjalan dengan pola sesempurna itu.

Kondisi ini membuat banyak orang merasa berjalan lebih lambat, merasa tertinggal, bahkan merasa gagal, meskipun sebenarnya mereka sedang berada di jalur hidup yang sangat wajar. Media sosial menjadi arena yang mempertemukan dua hal yang bertolak belakang: harapan ideal yang ditampilkan di layar dan kenyataan sehari-hari yang penuh dinamika. Ketika jarak antara keduanya terlalu lebar, timbullah perasaan tidak nyaman yang sulit diartikan.

Dan dalam keheningan setelah layar dimatikan, kita seringkali mendapati diri kita lebih memilih untuk mempercayai versi dunia media sosial yang paling indah itu, dibandingkan kenyataan yang kita jalani di dunia nyata. Kita lupa, bahwa hidup bukanlah kompetisi visual. Kita lupa, bahwa kesuksesan tidak diukur dari seberapa menarik hidup kita di mata orang asing. Kita lupa bahwa diri kita pun memiliki ritme yang sah, meskipun tidak seterang dan secepat linimasa orang lain.

Mengapa Media Sosial Membuat Kita Merasa Tidak Cukup Baik?

Salah satu alasan utama media sosial membuat kita merasa "tidak cukup baik" adalah karena ia beroperasi sebagai panggung yang hanya menampilkan momen-momen terbaik. Kita lupa bahwa apa yang kita lihat bukanlah keseluruhan cerita, melainkan potongan-potongan kecil yang telah dipilih, diedit, dan dirapikan. Orang jarang sekali berbagi kegagalan, kesedihan, atau bagian hidup yang kacau, sementara momen-momen bahagia dipamerkan tanpa henti.

Bayangkan saja ketika Anda membuka aplikasi media sosial favorit setelah hari yang melelahkan. Anda melihat teman mendapatkan pekerjaan bergengsi, teman berlibur ke luar negeri, teman merayakan ulang tahun dengan meriah, dan teman bersama pasangannya yang tampak selalu harmonis. Dalam satu kali gulir layar, Anda disuguhi puluhan pencapaian yang bertumpuk. Di situlah otak kita akan menyimpulkan bahwa semua orang sedang maju pesat, sementara kita seolah berjalan di tempat.

Emosi manusia tidak diciptakan untuk terus-menerus menerima segala informasi positif tentang kehidupan orang lain. Dahulu, kita hanya membandingkan diri dengan segelintir orang di sekitar kita, seperti tetangga, rekan kerja, atau kerabat. Kini, lingkup perbandingan itu meluas menjadi ratusan, bahkan ribuan orang, termasuk mereka yang tidak kita kenal atau yang sebenarnya hidup dalam kondisi sangat berbeda. Namun, kemampuan kita memproses perbandingan tetap sama. Inilah sebabnya, rasa "tidak cukup baik" muncul begitu kuat.

Tanpa sadar, media sosial membuat kita membandingkan draf pertama dalam lembaran kehidupan kita dengan halaman akhir di lembaran kehidupan orang lain. Kita lupa bahwa di balik senyum yang mereka tampilkan, ada proses panjang yang tak pernah diberitakan.

Dalam dunia digital, tidak banyak ruang untuk kerapuhan. Kita terbiasa "harus tampak baik-baik saja." Maka, ketika kita mengalami hari yang buruk, kita merasa seperti satu-satunya orang yang terjebak dalam kesulitan itu. Padahal, kenyataannya, semua orang sedang berjuang, hanya saja perjuangan itu tidak selalu terlihat di layar media sosial.

Ketika standar yang kita lihat begitu tinggi dan tampak dapat dicapai oleh banyak orang, kita mulai menganggap standar tersebut sebagai kewajiban, bukan pilihan. Kita merasa gagal ketika tidak memenuhi tuntutan tak tertulis itu. Padahal, setiap kehidupan tidak dirancang untuk selalu berada dalam kondisi terbaik seperti yang terlihat di dalam media sosial.

Perangkap Perbandingan dan Algoritma

Media sosial bukanlah sekadar platform pasif; ada otak digital yang bekerja di baliknya, yaitu algoritma. Algoritma bertugas menampilkan apa yang paling membuat kita betah berada di aplikasi itu: konten yang memicu emosi, mengejutkan, memotivasi, atau bahkan membuat kita iri. Semakin kita tertekan, semakin kita ingin terus menggulir layar untuk melihat apakah ada sesuatu yang lebih baik, lebih indah, lebih menawan. Dan di situlah, algoritma memanfaatkan celah tersebut.

Perbandingan yang dilakukan manusia sebenarnya bersifat spontan. Namun, algoritma memperkuatnya hingga berkali-kali lipat. Jika kita berhenti sejenak melihat seseorang dengan tubuh ideal, maka platform akan menampilkan lebih banyak konten serupa. Jika kita menonton video kesuksesan finansial seseorang, maka kita akan dibanjiri konten motivasi yang secara tidak langsung menyiratkan bahwa kita kurang berusaha. Dalam waktu singkat, kita masuk ke ruang yang isinya adalah standar-standar tinggi yang tampak normal karena muncul terus-menerus.

Inilah "perangkap perbandingan," sebuah situasi di mana kita tidak lagi membandingkan diri dengan orang di sekitar, tetapi dengan kumpulan terbaik dari orang-orang yang bahkan tidak memiliki hubungan nyata dengan kita. Kita membandingkan kehidupan biasa dengan highlight kehidupan orang lain. Kita merasa gagal bukan karena kegagalan nyata dalam hidup kita, melainkan karena algoritma menunjukkan terlalu banyak keberhasilan orang lain.

Tanpa sadar, linimasa kita disusun oleh pola yang dibentuk dari kerentanan kita. Algoritma memilihkan apa yang membuat kita terpaku, bukan apa yang membuat kita bahagia. Algoritma dan perbandingan itu juga memperbesar rasa iri, rasa ingin menjadi seperti orang lain, dan pada akhirnya memunculkan rasa seolah kita sedang tertinggal.

Perbandingan yang terus-menerus akan mengikis rasa syukur, dan menyebabkan kita mulai kehilangan penghargaan terhadap proses-proses kecil yang kita jalani setiap hari. Kita lupa bahwa perjalanan setiap orang pasti berbeda dan garis waktu setiap orang tidaklah sama. Namun, saat terjebak dalam perangkap perbandingan, kita merasa hidup kita berjalan lebih lambat, lebih hambar, lebih tidak berwarna.

Algoritma memperkuat ilusi itu, dan semakin lama kita berada di aplikasi media sosial itu, semakin kuat pula rasa "tertinggal" itu mengakar. Kita terjebak dalam lingkaran yang tak berujung: melihat, membandingkan, merasa kurang, hingga berusaha tampil lebih baik di hadapan orang lain. Padahal, semua itu dibangun di atas kecerdasan buatan yang tujuannya bukan membuat kita bahagia, melainkan membuat kita merasa harus mengejar standar yang sama, bahkan ketika standar itu tidak pernah kita pilih.

Hidup dengan Versi Diri Kita, Bukan Versi Linimasa Orang

Pada akhirnya, kita tidak bisa terus hidup mengikuti langkah orang lain. Dunia digital akan selalu memperlihatkan orang-orang yang lebih cepat, lebih kaya, lebih mapan, lebih berani, lebih pandai, dan lebih segalanya. Jika kita terus mengukur diri dengan itu, kita akan terus merasa tertinggal, bahkan ketika kita sebenarnya sedang berjalan dengan baik.

Ketika kita sadar bahwa media sosial menciptakan standar yang tidak realistis, langkah selanjutnya adalah belajar menciptakan batas sehat antara diri kita dan dunia digital. Kita perlu memahami bahwa kehidupan tidak perlu seindah apa yang ditampilkan di layar media sosial. Bahwa tidak semua hal harus dibagikan, dan bahwa kebahagiaan tidak perlu disaksikan orang banyak untuk menjadi kenyataan.

Hidup dengan versi diri sendiri menggambarkan bagaimana kita telah menerima bahwa perjalanan setiap orang berbeda. Ada yang sukses di usia muda, ada yang menemukan kebahagiaan di usia yang lebih matang. Ada yang berkembang di kota besar, ada yang tumbuh dengan tenang di tempat kecil. Tidak semua proses harus spektakuler, karena tidak semua pencapaian harus terlihat.

Ketika kita berhenti memaksakan diri mengikuti ritme orang lain, kita memberi ruang lebih banyak untuk diri sendiri. Di situlah, kita akan mulai mendengar suara hati yang sering tenggelam oleh kebisingan linimasa. Kita mulai menyadari bahwa hal-hal sederhana pun bisa membawa makna besar.

Ketika kita melepaskan standar sempurna yang diciptakan media sosial, kita mulai melihat kehidupan kita apa adanya: yang penuh proses, penuh perbaikan, dan penuh momen-momen kecil yang justru paling berarti. Kita mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak diukur dari banyaknya pencapaian yang bisa dipamerkan, melainkan dari kedekatan kita dengan diri kita sendiri.

Hidup dengan versi diri sendiri juga berarti membentuk hubungan yang lebih jujur antara kita dengan dunia digital. Tidak harus menghapus media sosial, tetapi menggunakannya dengan penuh kesadaran: mengikuti akun yang memberi inspirasi tanpa menekan, membatasi waktu penggunaan, dan menyadari bahwa apa yang kita lihat hanyalah potongan-potongan kecil kehidupan orang lain.

Pada akhirnya, menerima bahwa kita tidak harus cepat, tidak harus selalu benar, tidak harus selalu tampil baik adalah sebuah langkah besar menuju ketenangan. Kita tidak perlu merasa tertinggal; kita hanya sedang berjalan di jalan yang berbeda. Kita hanya perlu menjadi seseorang yang terus bergerak ke arah yang kita yakini benar, meskipun berjalan dengan pelan.

Apapun itu, media sosial bukanlah musuh yang sebenarnya. Media sosial adalah alat, bukan ukuran. Media sosial bisa menjadi jendela dunia, tempat belajar, ruang berjejaring, hingga sumber inspirasi. Namun, tempat itu juga bisa menjadi cermin yang memantulkan pemutarbalikan tentang diri kita, yang membuat kita merasa tidak cukup baik, tidak cukup cepat, tidak cukup berarti, dan merasa begitu tertinggal.

Media sosial bisa memberi kita dua arah: membawa manfaat dan membawa tekanan. Maka, tugas kita bergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Ketika kita memahami mekanisme ini, kita bisa mengambil kembali kendali. Kita bisa menciptakan ruang di mana nilai diri tidak ditentukan oleh linimasa orang lain, tetapi oleh kebahagiaan dan ketenangan yang kita dapatkan dari menjalani hidup yang benar-benar kita pilih.

Kita bukan sedang berlomba dengan siapa pun; kita hanya sedang berusaha menjadi lebih baik dari diri kita kemarin. Hidup yang paling berarti bukanlah yang terlihat sempurna di mata orang, karena hidup yang paling berarti adalah hidup yang terasa benar dan jujur di hati kita sendiri.

Post a Comment

0Comments

Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih

Post a Comment (0)