Tren Belanja Impulsif Gen Z di Era Viral

Erlita Irmania
0

Fenomena Baru yang Muncul di Era Viral

Di era digital saat ini, terdapat pola konsumsi yang cukup unik di kalangan Gen Z. Mereka tidak lagi membeli barang hanya karena kebutuhan mendesak, melainkan didorong oleh alasan-alasan yang sederhana seperti merasa “gemas”, “lucu”, atau “aesthetic”. Fenomena ini tampak jelas di media sosial, terutama di TikTok dan Instagram, di mana produk-produk yang menggemaskan bisa menjadi viral dalam waktu singkat. Tidak jarang, barang yang sebelumnya tidak terkenal mendadak laris manis setelah muncul dalam satu video FYP yang menyebutkan “guys ini lucu banget wajib punya!”.

Media sosial membuat kegiatan berbelanja terasa lebih seru dibandingkan sekadar kebutuhan. Banyak anak muda yang awalnya hanya berniat scroll sebentar, kemudian justru terjebak untuk melakukan checkout. Ada kepuasan tersendiri saat menemukan barang yang cocok dengan suasana hati, apalagi jika harga yang ditawarkan juga bersahabat. Kombinasi antara rasa gemas, trend visual, dan rasa spontan ini membuat fenomena tersebut sulit dihindari.

Fenomena "Belanja Karena Gema" Menjadi Bahan Lelucon

Fenomena "belanja karena gemas" ini bahkan menjadi bahan lelucon di berbagai platform. Banyak warganet yang mengaku menyesal setelah barang datang karena ternyata tidak banyak digunakan, namun tetap merasa bahagia saat membelinya. Rasa senang sesaat inilah yang menyebabkan perilaku belanja impulsif semakin menguat dalam kehidupan Gen Z.

Ketika Budaya Viral Menguasai Gaya Konsumsi

Perilaku belanja impulsif sangat dipengaruhi oleh budaya tren yang berkembang pesat di dunia maya. Setiap hari, ada produk baru yang menjadi viral, seperti gelas bergambar kartun, dekorasi meja mini, pouch karakter, botol minum tumblr kekinian hingga barang-barang acak seperti gantungan kunci (cry baby atau Labubu dari PopMart) yang dijual karena dianggap “satisfying”. Gen Z hidup dalam lautan konten yang tak ada habisnya, sehingga mereka mudah tergerak untuk membeli barang hanya karena sering muncul di layar mereka.

Para konten kreator juga berkontribusi besar terhadap fenomena ini. Mulai dari video unboxing, haul aesthetic, makeover ruangan, hingga rekomendasi “barang lucu di bawah 20 ribu”, semua ini membuat barang terlihat lebih menarik daripada fungsinya yang sebenarnya. Banyak pengguna yang merasa “butuh” sesuatu yang sejatinya tidak diperlukan hanya karena melihat kreator favorit mereka menggunakannya.

Selain itu, algoritma media sosial bekerja dengan sangat intens. Jika seseorang menonton satu video tentang barang lucu, dalam waktu singkat mereka akan mendapatkan rekomendasi serupa. Semakin sering menonton, semakin besar kemungkinan membeli. Akhirnya, belanja menjadi sesuatu yang terjadi secara spontan, bukannya direncanakan.

Kenapa Gen Z Rentan Belanja Impulsif?

Gen Z sangat peka terhadap elemen visual. Barang-barang dengan desain lucu, warna pastel, atau motif unik langsung menarik perhatian mereka. Identitas visual seperti “kawaii” atau “clean girl aesthetic” bukan hanya sekadar gaya, tapi sudah menjadi preferensi emosional. Ketika mereka melihat sesuatu yang sesuai dengan aesthetic kesukaan, dorongan untuk membeli muncul dengan sendirinya. Di samping itu, TikTok dan Instagram menciptakan budaya pengambilan keputusan yang cepat. Video pendek dengan durasi hanya beberapa detik melatih otak untuk menilai sesuatu dalam waktu singkat. Hal ini berpengaruh pada cara mereka mengambil keputusan berbelanja. Tanpa disadari, mereka menjadi terbiasa membeli produk dengan pertimbangan yang sedikit, hanya berdasarkan kesan awal yang mengesankan.

Faktor lain yang berpengaruh adalah FOMO yaitu rasa takut ketinggalan. Saat sebuah produk sedang banyak dibicarakan, banyak Gen Z merasa bahwa mereka harus memilikinya agar tidak tertinggal dari tren. FOMO mendorong seseorang membeli bukan karena membutuhkan barang tersebut, melainkan agar mereka tidak merasa “kurang update” dibandingkan orang lain.

Pasar Baru yang Sangat Menguntungkan

Fenomena belanja impulsif ini membuka peluang besar bagi para pelaku bisnis. Banyak UMKM yang memfokuskan diri pada produk-produk menarik, kecil, dan terjangkau mengalami peningkatan penjualan yang signifikan. Produk yang menjadi viral bisa terjual habis dalam hitungan jam, bahkan perlu melakukan restock beberapa kali dalam sehari. Barang-barang yang sebelumnya dianggap remeh justru dapat menjadi sumber utama pendapatan bagi pedagang kecil.

Selain itu, platform media sosial menciptakan pasar baru yang tidak bergantung pada toko fisik. Dengan hanya membuat konten yang menarik, penjual dapat menjangkau konsumen di seluruh Indonesia. Banyak usaha kecil yang dahulu hanya sekedar "coba-coba" menjual kini telah berkembang menjadi bisnis serius berkat paparan produk mereka dalam algoritma viral.

Keuntungan lainnya adalah tumbuhnya kreativitas di kalangan para pelaku bisnis. Mereka bersaing untuk menciptakan produk yang unik dan menarik perhatian konsumen. Kemasan dirancang dengan lebih menarik, pemilihan warna menjadi lebih estetis, dan konsep brand dibuat lebih personal agar bisa dekat dengan konsumen muda. Semua faktor ini berkontribusi pada dinamika pasar yang semakin kompetitif.

Cara Mengolah Impulsive Buying Jadi Strategi

Para pelaku bisnis yang cerdas dalam memanfaatkan pembelian impulsif biasanya menyadari bahwa Gen Z membeli barang lebih karena perasaan, bukan sekedar fungsi. Oleh karena itu, mereka tidak hanya menjual produk, tetapi juga menciptakan pengalaman visual yang kuat. Pengambilan gambar yang baik, video ulasan yang menarik, serta cerita tentang bagaimana barang diproduksi dapat meningkatkan daya tarik.

Strategi seperti memberi nama yang lucu pada produk, menambahkan bonus kecil dalam paket, atau menciptakan konsep brand yang mudah dipahami juga cukup efektif. Detail kecil ini membuat konsumen merasa dihargai dan lebih terhubung secara emosional dengan brand tersebut. Pelaku bisnis yang mampu mempertahankan kualitas sering kali bertahan lebih lama dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan tren sesaat.

Namun, pendekatan pembelian impulsif tetap harus diimbangi dengan perencanaan bisnis yang kuat. Pelaku bisnis harus siap untuk menghadapi perubahan tren. Produk yang populer hari ini belum tentu tetap digemari bulan depan. Tanpa adanya inovasi, brand dapat dengan cepat tenggelam di tengah banjir konten baru yang terus bermunculan.

Ketika Belanja Tidak Lagi Rasional

Meskipun belanja impulsif itu menyenangkan, hal ini juga membawa konsekuensi tersendiri. Banyak Gen Z yang merasa menyesal setelah menerima barang yang mereka beli. Produk yang dibeli karena lucu sering kali hanya menjadi pajangan yang tidak terpakai. Rasa penyesalan muncul ketika mereka menyadari telah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang sebenarnya tidak mereka perlukan.

Di sisi lain, para pelaku bisnis juga menghadapi tantangan. Tren yang berubah dengan cepat memaksa mereka untuk terus berinovasi tanpa henti. Ada risiko produk yang viral tiba-tiba kehilangan peminat dalam waktu singkat. Selain itu, ada pula persaingan yang tidak sehat, seperti produk tiruan yang dijual dengan harga lebih rendah, yang mengancam pasar brand asli.

Tantangan terbesar mungkin berasal dari konsumen itu sendiri. Ketika budaya belanja impulsif tidak diawasi, masalah keuangan bisa timbul. Banyak Gen Z yang masih dalam tahap awal mengelola keuangan, sehingga pembelian-pembelian kecil yang terus dilakukan bisa berdampak besar pada tabungan mereka sendiri.

Antara Hiburan, Tekanan Tren, dan Kontrol Diri

Belanja impulsif pada dasarnya merupakan bagian dari budaya digital yang erat kaitannya dengan kehidupan anak muda. Di satu sisi, aktivitas ini dapat memberikan hiburan dan kebahagiaan kecil. Namun, kebiasaan ini akan berbahaya jika dilakukan tanpa kesadaran. Generasi muda perlu menetapkan batasan yang sehat antara kebutuhan dan keinginan.

Ada baiknya menunda pembelian selama beberapa jam atau sehari untuk memastikan bahwa barang benar-benar dibutuhkan. Dengan cara ini, keputusan berbelanja menjadi lebih dipikirkan dan tidak hanya didorong oleh perasaan sesaat. Para pelaku bisnis juga hendaknya tetap memegang prinsip etika, tidak mengeksploitasi keinginan konsumen dengan cara-cara manipulatif yang berlebihan.

Fenomena ini tidak perlu dihentikan, melainkan harus diatur. Selama konsumen dan pelaku bisnis mampu mengendalikan diri, budaya belanja impulsif bisa tetap menjadi bagian dari kesenangan tanpa mengorbankan keseimbangan finansial.

Fenomena yang Menarik, tapi Perlu Disikapi Bijak

Belanja impulsif di kalangan Gen Z memang menarik untuk diperhatikan. Ada sisi yang seru, ada kreativitas yang muncul, dan ada banyak peluang bagi pengusaha. Namun, juga terdapat risiko yang perlu diwaspadai. Jika tren ini dihadapi dengan bijaksana, fenomena yang sedang viral bisa menjadi bagian dari gaya hidup yang seimbang. Pada akhirnya, barang-barang unik memang mengasyikkan, tetapi membuat pilihan belanja yang cerdas jauh lebih menenangkan.

Post a Comment

0Comments

Berkomentarlah dengan bijak, bagi yang memberikan link aktif akan langsung hapus. Terima Kasih

Post a Comment (0)